Laman

Jumat, 01 Januari 2016

Aku, Setetes Embun

Selain kau, Sayang, tiada yang pernah percaya bahwa dulu sebelum menjadi manusia, aku adalah setetes embun yang melayang-layang di udara. 19 tahun silam, tubuhku tercampak ke antah berantah, jatuh di tempat yang tak kuketahui—yang kausebut dengan Negeri Mimpi. Aku memberi nama diriku sendiri: Rinai Embun—persis dengan jalan takdirku sebelumnya,  yang kaubilang bagus, yang kaukatakan menentramkan, seperti pancaran mata cantikku yang menyegarkan, katamu. Aku pun tersipu.

Lalu, kau meyakinkanku bahwa betapa lebih baik aku memang dilahirkan tanpa orang tua, bukan menjengul semata dari rahim ibu—yang bahkan secuil saja tak pernah memberikanku kesan rasa cinta. Aku selalu percaya kata-katamu, "O, Embun, kau bahkan tak lahir dari kehendak Tuhan, muncul bukan sebagai harapan, dan semata-mata ada, tidak sebagai jawaban atas jiwa-jiwa yang kesepian. Kau benar-benar perwujudan baru dari kesia-siaan!" Lalu kau melanjutkan, "Tapi, tak usahlah bersedih, kita berdua adalah sama. Kita lahir dari kesengajaan yang tidak diinginkan. Lantas, sebenarnya telah menjadi bagian dari ujian mereka. Namun, sebab mereka "lari", jadilah kita menjadi ujian untuk diri kita sendiri. Kita sama-sama tak lebih dari sampah berserakan; sama-sama terbuang, lalu dipertemukan. Biarlah selayaknya kau menjadi embun saja, penyejuk hatiku yang gersang, kerontang, dan barangkali lekang oleh tuarang."

Sungguh, aku benci ujian, Sayang, karena ia memaksaku untuk tetap menitikkan air mata padahal sudah kutahan. Terus menahan, seperti katamu, walau entah sampai kapan. Dan nyatanya itu menyakitkan. Kau pasti pernah merasakannya juga, kan?

Tubuhku penuh bekas luka—bergaris legam. Kau ingat, bukan? Aku telah menunjukkan semuanya kepadamu. Matamu melotot saat melihat tubuhku. Kau tampak terkesiap dan ingin mencoba menyembuhkannya dengan teknik baru, katamu. Awalnya, kau menyentuh segalanya perlahan, pula memijat—serta menjilat—penuh perasaan. Namun, kenapa lama kelamaan seperti kesetanan? Dan betapa aku hanya diam saja, kecuali yakin bahwa erangan-eranganmu adalah bagian dari cara terbaru untuk mengobatiku.

Kini, kita terpisah, Sayang. Oleh jarak dan sekat-sekat yang sebetulnya tidak pernah aku mengerti. Buat apa? Dan kenapa bisa ada? Meski kau berulang kali menjelaskannya kepadaku, meski kaubilang bahwa dirimu bukanlah yang dulu, aku tetap saja tak mengerti. Bagaimana mungkin manusia bisa berbeda—misalnya aku, aku masih tetap orang yang sama: masih wanita yang mengagumimu, merindukanmu, dan mencintaimu. Jadi, di mana letak perbedaannya? Kau berkilah bahwa di dunia ini hanyalah aku wanita yang tak bisa berubah. Karena aku manusia yang berbeda, berpijak di bumi hanyalah sebatas menuntaskan mimpi.

Kauberikan aku sebuah foto: kita berdua, mulutmu tertawa—lebar menganga, bersama aku di sampingmu. Dapatkah aku memercayai rasa itu adalah bahagia? Aku tahu kau akan selalu ingat rasanya memelukku di angkasa. Saat itu kita berputar, terbang mengitari cakrawala. Kau memelukku dari belakang, mungkin matamu terpejam. Kau pasti tahu, mega biru dan sayap-sayap kita akanlah menjadi saksi bisu sebentar lagi mimpi kita diestafetkan kepada calon manusia yang ada di perutku. Selepasnya, aku akan kembali menjadi rinai embun yang mengapung di udara. Katamu terakhir kali, "Segala yang ada di Negeri Mimpi bisa terjadi, termasuk seseorang yang bisa tiba-tiba datang, tiba-tiba pula sirna, bahkan perlahan menuju lembah ketiadaan." Nyatanya, kita memang tak pernah bertemu lagi setelahnya.

Akhirnya, foto inilah satu-satunya bukti bahwa kita pernah saling mencintai. Maka, saat telah menjadi embun lagi, aku membawanya ke mana-mana. Kupamerkan kepada semua bahwa aku pernah jatuh cinta. Pernah suatu ketika ada yang bertanya siapa yang memotretnya, kau tahu, pasti aku hanya diam seribu bahasa.

Kutoarjo, ditemani rintik hujan pertama di tahun ini.