Tiada sesuatu pun yang tersohor di
desa ini, kecuali bekas rumah Pak Karnoto. Secara kasatmata, tak ada apa-apa di
sana kecuali puing-puing bangunan yang telah porak poranda. Rerumputan dan alang-alang juga tumbuh teramat
liar, seakan menobatkan
diri sebagai penghapus kenangan. Hijaunya benar-benar membuat hitam seolah lesap, tiada terjangkau legam
kecuali diamati lebih saksama. Satu hal yang tidak bisa tertutupi, adalah
cerita-cerita aneh yang berkitar mengiringi: tepat di tengah-tengah pekarangan,
pada dinding kayu tiada getas, memang ajaib jika tiga tahun silam tak runtuh terlalap api, bahkan,
tak berbekas sama sekali
meski api sengaja dikobarkan untuk meluluhlantakkan tempat ini.
Dulu sebelum pembakaran itu terjadi, pada pekan ketiga bulan Dzulhijah,
orang-orang desa menumpah resah.
“Aku berani bersumpah. Aku melihat
Pak Karnoto menjadi makmum di masjid Madinah,” kata Pak Munir.
Konon, Pak Karnoto adalah orang
sakti. Orang-orang di desa ini menjulukinya Pak Kyai. Terkenal arif, ramah,
serta halus dalam berbudi. Kabarnya, ia adalah keturunan ketujuh Kyai Karnawi,
penghuni pertama sekaligus orang yang membabat hutan jati menjadi cikal bakal
desa ini. Tentu saja, menurut kepercayaan, orang yang sanggup melakukan hal
tersebut hanyalah
orang berdigdaya tinggi. Mau tidak mau, sengketa lahan dengan makhluk-makhluk
bayangan tidak terelakkan lagi. Namun barangkali, itu tidaklah lebih rumit daripada
sengketa absurd berbau kepemerintahan di masa kini.
“Wah, aku juga melihatnya,
Pak. Pak Karnoto mencium Hajar Aswad[1],”
tambah Pak Syuaib.
Lalu, gosip itu merebak seketika.
Diteruskan dari mulut ke mulut, pintu ke pintu, berputar, terus menerus hingga akhirnya
sampailah ke telinga Pak Munir dan Pak Syuaib kembali. Isu tersebut mewabah begitu saja, menyerang ke
mana-mana, bagai pagebluk yang melanda. Semua mulut yang bersuara, pasti tak jauh-jauh dari Pak
Karnoto obrolannya. Hal tersebut dikarenakan pada hari ketika Pak Munir dan Pak
Syuaib pergi ke tanah suci, Pak Karnoto masih tampak wara-wiri di desa ini.
Tentu menjadi kejanggalan mengingat manusia muskil teleportasi.
“Saya pernah melihat Pak Karnoto menembus tembok samping rumahnya,” ujar seorang
pemuda bernama
Sentanu.
***
Saya seperti terperosok ke dalam
dunia nan tidak semestinya saya kunjungi. Tapi, begitu mata ini tertumbuk
dinding di bagian
sisi rumah Pak
Karnoto, pandangan saya seperti terperangkap, sukar sekali untuk keluar.
Sebagaimana mestinya saya bisa menghindari dengan memejamkan mata, namun di
saat itu pula segalanya menjadi sulit.
Saya benar-benar melihatnya. Dinding itu terawang, sebening gelembung sabun
yang telus pandang. Di sana, saya melihat ruangan dari batu pualam keunguan,
rapi, seakan sengaja dijajarkan. Tapi ketika saya beringsut mendekati dinding
itu, bilik di dalamnya berubah menjadi luas, sangat luas. Seperti tiada batas.
Dan saya pun benar-benar ingin masuk.
“Assalamu’alaikum,” begitu sapa saya. Tak ada jawaban yang terdengar
setelahnya. Kendati nurani saya melarang, namun rasa penasaran rupanya jauh
lebih besar. Saya pun melangkahkan kaki.
Saat
dinding tak lebih jauh dari satu kaki, tiba-tiba ada kekuatan yang seperti
menarik saya. Saya terisap. Tangan mencoba menggeragap, tapi tak ada sesuatu
yang bisa saya gapai untuk berpegangan. Saya tersedot tanpa daya, tubuh terangkat tiba-tiba,
melayang pasrah seperti
anai-anai yang tercampak ke udara.
Entah bagaimana ceritanya, saya sudah berada di dalam bilik berpintu banyak.
Sebegitu banyak, bahkan, ketika saya menengok ke belakang pun tetap mendapati
pintu yang banyak. Saya terdiam sejenak, karena sejujurnya, saya sudah mulai takut. Ingin pulang, namun tak mengerti
pintu mana yang mesti dimasuki. Perlahan, saya menarik napas, lantas memilih untuk
membuka
pintu yang berada tepat di hadapan.
“Assalamu’alaikum,”
begitu ucap saya lagi. Jantung saya berdegup lebih cepat kali ini.
Ketika saya mencoba melongok untuk
memastikan keadaan—apa yang ada di balik pintu, tubuh saya seperti terdorong
tenaga yang sangat kuat. Sedemikian kuatnya hingga tubuh ini terpelanting begitu saja—lagi-lagi
entah bagaimana ceritanya, kemudian pintu itu sirna. Saya sudah berada di suatu tempat, yang
boleh dikatakan seperti kota yang gemerlap. Cahaya lampu berpendar di
mana-mana, begitu cemerlang, serempak kerlap-kerlip, seolah siang dan malam
terasa sangat cepat. Di kanan kiri, gedung tinggi terberumbun, membenamkan tubuh saya yang katakan saja lebih mirip repihan
roti di istana
raksasa.
“Cucuku!”
Sesosok bayangan hitam
tiba-tiba sudah berada di samping saya. Begitu saya menoleh, terbelalaklah saya melihat wujudnya. Ia berbeda dengan manusia kebanyakan. Atau memang ia bukan manusia. Ia pasti iblis. Kulitnya hitam, sehitam-hitamnya hitam. Mata menyala seperti memijarkan api, gigi taringnya memanjang sampai ke kaki. Lalu, ia tertawa dengan suara yang membelah langit. Berdahanam. Tubuhnya tiba-tiba membesar, semakin besar, seolah tiada lagi yang lebih besar. Saya takut sekali.
Untunglah, seseorang "membangunkan" saya....
***
Binar matanya tergerus kegamangan.
Memerah serta berkaca-kaca, begitu nyata seolah hatinya sedang dicakar
kengerian. Apalagi kini malam mulai merayap, dalam sekejap, bibirnya pun
menjadi tungkap. Sorot mata yang ia tunjukkan memang seperti sedang menyaksikan
tragedi yang paling mengerikan. Tak pernah ada sepatah kata yang mencelus dari
mulutnya, ia hanya tetap terdiam, patuh dengan rahasia yang mungkin saja tak
pernah ingin ia sembunyikan. Ingin tersingkap, namun sulit untuk dikatakan,
begitulah barangkali pikirnya.
“Gedung itu menjulang begitu tinggi,” katanya tiba-tiba.
Lalu, ia pun
menceracau
tentang kabut yang tebal, bergelintin, seperti asap yang tak pernah lingkap. Kepulan-kepulan tersebut membentuk layar, memutar ulang
memori-memori di setiap bilik otaknya, katanya. Membawa pada peristiwa yang tak
pernah ia ingat, atau sebenarnya belumlah terjadi.
“Saya melihat masa depan!”
Aku memandanginya. Matanya nanar, seperti belum sepenuhnya tersadar.
Kugoncang-goncangkan bahunya, ia pun berkedip-kedip. Kebingungan.
“Pak Kyai!”
“Kamu tidak apa-apa Sentanu?”
Sentanu tertegun melihatku. Beberapa jenak ia terpaku.
“Pak Kyai kenapa bisa berada di sini?”
“Lho, ini kan rumahku!?”
Sentanu mengedarkan pandangan ke sekitar. Tampak manik matanya bergerak-gerak.
Tak beberapa lama setelahnya, ia berlari meninggalkanku. Tunggang langgang
seperti melihat hantu.
***
“Penghuninya kabur!”
“Dasar kyai gadungan!”
Pekikan-pekikan itu membahana pada
suatu malam di bulan Asyura. Warga desa menyatroni rumah Pak Karnoto. Berbondong-bondong,
berkumpul di depan rumah, lengkap bersama emosi yang telah menguasai
hati.
“Bakar!”
“Hanguskan semuanya!”
Amarah warga desa tumpah ketika kabar angin menyeruak. Pak Karnoto dituduh
terkait dengan kematian beberapa warga akhir-akhir ini. Kematian yang bermotif
sama: perut menggembung, pias, membesar, lalu pecah mengeluarkan darah, nanah,
beserta lintah. Pak Karnoto dituduh sebagai dukun santet. Semua orang tahu, Pak
Karnoto adalah orang sakti.
"Aku semakin yakin kalau Pak Karnoto tukang teluh, Pak," bisik Pak
Syuaib kepada orang di sebelahnya. Pak Munir pun mengangguk-angguk
mendengarnya.
Pelan-pelan, api membakar segalanya.
Asap menabun tinggi ke angkasa. Menggumpal. Berkobar-kobar. Hatta, malam ini
semuanya menjadi paradoks. Malam yang biasanya sepi, kali ini begitu riuh;
malam yang biasanya gulita, kini api memudarkan kegelapannya; malam yang
biasanya dingin, kini sangat panas, sepanas keberangan warga.
“Jangan ada yang tersisa!”
Nyatanya, tatkala kini api telah
padam, orang-orang belumlah puas. Satu hal yang membuat mereka tak habis pikir:
sebuah dinding kayu tidaklah gosong, bahkan sama sekali tidak tercium
api.
Belum usai orang-orang tertegun
menyaksikan hal janggal tersebut, sekali lagi mereka tergemap. Angin dingin
tiba-tiba bertiup kencang, bersamaan pula dengan rintik hujan yang meredakan
sisa-sisa api.
Dari dinding, muncullah lelaki tua
berserban putih. Menjengul begitu saja. Kumis dan jambangnya lebat, pula
berwarna putih, seputih kapas yang bersih.
“Siapa kau?” tanya Pak Syuaib.
Orang-orang dengan saksama
menyaksikannya.
"Aku mencari orang yang bernama Sentanu!”
ujar orang itu dengan suara keras.
“Ada urusan apa Anda dengan
Sentanu?” Seseorang membuka suara juga.
Mendengar pertanyaan tersebut, sorot
pandang lelaki tua itu menajam. Semua orang pun terdiam.
“Dia ke sini bersama dengan iblis
hitam penebar fitnah,” ungkapnya.
Orang-orang menoleh ke kanan-kiri,
saling bersitatap. Beberapa orang mengedikkan bahu. Ironisnya, Sentanu
memang tidaklah sedang di situ.
"Ampuuun!"
Terdengar suara seseorang dari dalam
dinding. Keluarlah dua orang dari sana.
"Sentanu!?"
"Pak Kyai!?"
Orang-orang kian terperangah oleh
kemunculan dua manusia itu. Ada yang mengerjap-ngerjapkan mata sambil melongo,
ada pula yang memukul-mukul kepalanya seakan tidak percaya bahwa semuanya
adalah hal yang nyata.
"Ampuuun, Pak Kyai.
Ampuuun!"
Pak Karnoto mencengkeram keras
tengkuk Sentanu. "Ayo, mengakulah kepada warga desa."
Sebelum mulut Sentanu terbuka, sebelum semuanya diakuinya,
tiba-tiba, tubuhnya bergetar. Kekuatannya meningkat berlipat ganda. Pak Karnoto pun mesti terpental
karena kibasan tangan si pemuda yang sedang dicoba diringkusnya itu. Mata Sentanu
merah, marah. Setelahnya, mencagunlah sosok hitam yang begitu besar, suaranya
menggelegar, membuat semua orang menjadi gemetar. Kecuali lelaki tua
berserban putih, yang sejatinya adalah Kyai Karnawi.
"Tunggu pembalasanku pada anak
keturunanmu, Karnawi!" ujar iblis hitam itu sesaat sebelum ia sirna masuk
ke dinding. Karnawi yang mencurigai iblis itu akan lari pun segera
melompat ke arahnya. Namun, si iblis ternyata lebih gesit daripadanya. Si
iblis raib, begitu pula Karnawi yang menghilang karena melakukan pengejaran ke
dalam dinding ruang dan waktu itu. Tiada yang pernah tahu bagaimana akhirnya nasib si iblis; apa ia
tertangkap, atau lolos, atau, boleh jadi, iblis hitam itu kini sedang di sampingmu?
[1] Hajar Aswad: sebuah batu yang diyakini oleh umat Islam berasal dari surga, kini digunakan sebagai
penghias ka’bah.