Laman

Kamis, 29 Oktober 2015

Rasi Kunci


Kau datang saat pekat tertaut dalam belikat
Sedari lama, jauh sebelum hari melindapnya cahaya
“Hei, lihat,” katamu menggarit malam
Bulan meronta karena kalah jelita

Telunjukmu mengarah ke langit yang sengit
Bersamaan dengan waktu yang tersesap pahit
“Itu namanya Rasi Bintang Biduk,” jelasmu
Teruntuk para sesat sebagai penunjuk

Ah, seperti kunci, pikirku
Lalu aku menamainya kunci hati
Tatkala menunjukkannya, senyummu meleburkan luka
Meski di saat itu pula malam merona pesona
Tak kuduga, pintuku pun menjadi terbuka

Kunci langit, kataku
Kunci yang teruar dari gugusan kata-katamu
Kulantangkan, "Aku menginginkanmu."
Kau tersipu…
Rasi kunci menjadi saksi bisu
Kita bercumbu 
Dalam kelam malam yang ambigu


Rabu, 21 Oktober 2015

Kidung Hujan dalam Kenangan Rembulan



Melalui tatapannya yang dalam, Rosyad pernah bilang bahwa aku adalah bintang di hatinya. Lalu, ia akan sangat senang jika aku mengijinkannya menjadi rembulan. Karena katanya, ia tak akan pernah lagi kesepian jika ditemani bintang seperti diriku.  
Selalu, beberapa detik selepas mata ini bertumbukan dengan purnama di malam yang cerah, saat senyuman Rosyad terpahat dalam guratan rembulan, bayang-bayang Eden muncul sebagai kegelapan.
“Tak usah percaya! Itu hanya bualan Rosyad,” tukas Eden sambil menyeringai, “Kau boleh saja menjadi apa pun yang kau mau, tapi aku tidak terima jika kau disamakan dengan bintang. Ah, pikirkan baik-baik andai kau memang suka menjadi bintang. Lihatlah sekujur langit, buka matamu lebar-lebar, maka kau akan menemukan jutaan bintang di atas sana. Meski cahaya sebuah bintang akan berhenti bersinar suatu saat, bukan berarti bulan akan kesepian. Karena apa? Sebab masih ada jutaan bintang lain yang tersisa. Bahkan, bisa saja bulan lebih menyukai bintang yang lebih benderang jika suatu saat kau meredup.”
***
            Di pinggir sungai samping rumah tempat aku biasa bertegur sapa dengan kenangan, Arlina menggamit lenganku. Aku yang sedang terduduk, sontak menoleh, mendongakkan kepala. Hai, katanya. Perempuan berambut lurus panjang itu pun beringsut duduk di sebelahku. Ia memandangiku dengan binar matanya yang cemerlang. Bibir tipisnya sedikit melebar, meski terkatup rapat terlipat ke arah dalam. Cuping hidungnya tampak menegang. Aku tahu ia sedang menahan tawa.
            “Tebak, apa yang ingin aku ceritakan?”
             Aku mencoba memasang wajah sinis. “Tak usah bertele-tele. Katakan saja.”
            Sontak, jidat Arlina mengernyit, matanya menyipit. Sejujurnya, aku menyukai ekspresinya saat ia sedang seperti itu; raut muka yang sebal, sementara aku suka menjadi sosok yang menyebalkan. Satu lagi, yang kusenangi darinya adalah, beberapa detik lagi, lihat saja, rasa sebalnya akan sirna.
            “Rosyad bilang kalau dia menyukaiku,” lanjutnya sembari tersenyum (Nah!).
            Berkebalikan dengan Arlina yang tampak bahagia, kata-kata itu justru membuat jantungku sejenak berhenti berdetak. Selanjutnya bergejolak. Aku tak tahu kenapa ia lebih menyukai penyair itu daripada diriku. Kendati memang kalah puitis, sebetulnya aku pun tidak kalah romantis.
            “Lalu?”
            “Iya, dia juga bilang kalau aku seperti bintang selepas petang. Indaaah… sekali. Romantis, kan?”
            Cih!? Sungguh aku tak tahu jalan pikiran perempuan. Hanya dengan bualan yang siapa pun bisa mengatakannya, hatinya meleleh. Menjadi bintang selepas petang saja sudah senang, bagaimana jika sedang siang!?
            “Kenapa kau diam saja, Eden?” tanya Arlina memasang wajah cemberut, “Kau tidak memerhatikan ucapanku, ya?”
            Aku terdiam beberapa saat, tetap dengan tatapan yang mengarah ke wajah manisnya. Lantas, kukatakan kepadanya bahwa bulan tak pernah setia. Bintang ada di mana-mana, semuanya berpijar, semuanya juga tampak indah.
            “Terus, kalau kau jadi Rosyad, kau mau jadi apa untukku?”
            “Jangan samakan aku dengan dia!”
            Arlina menghela napas selepas ia mendengar jawaban yang terlontar dari mulutku yang lepas. “Baiklah. Jika kau menjadi Eden, kau mau menjadi apa untuk Arlina?”
            Kututup mata ini, ingin sekali perkataanku beberapa detik lagi memang berasal dari hati. Kuberitahukan kepadanya bahwa aku lebih memilih untuk menjadi hujan daripada bulan. Meski aku tahu betul, tak pelak lagi keduanya memiliki kesamaan analogi. Hujan terkait dengan tumbuhan yang sebetulnya juga berjuta-juta jenisnya. Tumbuhan ada di mana-mana, yang otomatis hujan tak pernah bisa memilih ke mana ia akan turun ke bumi, kepada siapa ia akan menyirami. Tapi aku tetap diam, semoga dia tak tahu maksudku; jika hujan datang, maka bulan akan melindap terdekap gelap.
            “Lalu, jika kau menjadi hujan. Aku menjadi apa?”
            “Middlemist merah,” sambarku cepat.
            Arlina mengerutkan dahinya. “Hah!? Apa itu?”
            “Hmmm, itu  bunga langka, yang sebetulnya sekarang telah punah. Makanya, jika kau adalah Middlemist Merah, tentu kau satu-satunya di dunia ini. Dan akulah yang akan menyiramimu, agar kau tetap indah, supaya kau tidak layu.”
            Arlina mengangguk-anggukan kepala, bibirnya merunjung seperti paruh burung. Aku senang jika dia mulai mengerti, meski dalam hati, diri ini berpikir dia beloon sekali. Takah-takahnya aku setuju dengan pepatah: perempuan kian lugu kian ayu. Maka, memang sekarang ia terlihat menggemaskan dan lucu. Ironisnya, boleh jadi aku saja yang terlalu dini bersenang hati, karena setelah matanya menyeruak jantungku yang beriak, iris matanya tampak bergerak-gerak. “Ah, kau benar Eden. Baiklah, aku akan segera menanyakannya kepada Rosyad. Aku bintang apa baginya,” pungkas Arlina seraya beranjak meninggalkanku. 
***
            Sebentar lagi surya tenggelam berganti malam nan kelam. Di saat itu pulalah, ketakutan selalu mengikis nyali saya. Tatkala kegelapan tersulam dengan sendirinya, mata saya bisa saja membelalak akibat bayang-bayang kenangan yang bersisa nestapa. Saya memang selalu gamang dengan malam yang membuat mamang. Segalanya bermuasal dari kejadian dua puluh tahun silam, pada sebuah tengah malam yang sunyi.
Kebetulan, ketika itu saya yang masih SD tak kunjung jua memejamkan mata. Tiba-tiba, terdengar suara gesekan kaki teruar jelas hingga masuk ke telinga ini. Mulanya, saya hanya diam dan menganggapnya ayah atau ibu saya—tentu karena saya sudah berani tidur tanpa ditemani sehingga saya sudah memiliki kamar sendiri. Tapi, setelah ada barang yang terjatuh, hati saya sontak merapuh. Tak biasanya orang rumah beraktivitas pada jam-jam seperti itu—atau memang saya saja yang tak pernah tahu. Nyatanya, rasa penasaran di benak saya bersikukuh untuk melihat segalanya dengan utuh. Saya bangkit, lalu membungkuk, mendekati pintu dengan menyuruk-nyuruk.
Betapa terkejutnya saya melihat seseorang serupa bayang-bayang mengendap-ngendap di ruang tamu. Saya melihatnya dari sela-sela pintu yang baru saja saya buka. Nahasnya, sinar lampu kamar saya yang menjelanak melewati celah pintu, menumbuk dan membentuk garis cahaya vertikal pada tubuh manusia bayangan itu. Sekilas, matanya tampak melotot menyorot ke arah saya. Sungguh saya menjadi ketakutan karenanya. Pintu saya banting, lantas saya memekik keras-keras.
Saya tidak ingin menceritakannya lebih detail lagi, karena segalanya membuat rongga-rongga ini terpanggang dendam; kebencian yang tak akan tuntas sebelum saya menuntut balas. Yang jelas setelahnya, Ayah dan Ibu dibunuh oleh lelaki pencuri, yang tidak lain adalah paman saya sendiri. Saya tidak tahu ini keberuntungan atau kesialan, nyawa saya terselamatkan oleh beberapa warga yang mendatangi rumah saya. Paman dibekuk, dan sekarang ia berada dalam penjara.
Sejak saat itu saya hidup dengan Nenek di desa. Katanya, rumah orangtua yang berada di kota, dijual untuk membiayai hidup saya selanjutnya. Syahdan, semuanya menjadi permulaan yang mengantarkan saya kepada Eden dan Arlina. Kami berkenalan, kemudian menjadi sahabat yang—semoga saja saling—tak tergantikan.
***
            Rosyad pernah bercerita kepadaku tentang alasan ia tak menyukai malam, tak menyukai kegelapan. Aku memakluminya, sebab kupikir memang tak akan mudah untuk menjalani hidup sepertinya. Maka, saat ia mengatakan bahwa dirinya ingin menjadi rembulan, hatiku bahagia luar biasa. Hanya saja, kini kebahagiaan itu telah sirna lewat secarik kertas yang ditinggalkannya. Karenanya, hingga detik ini aku tahu benar bahwa, ia tak akan pernah menemui aku dan Eden lagi.
            Teruntuk Arlina bintang hati saya. Mungkin, sudah sepantasnya saya tiba-tiba datang dan kemudian pergi. Lewat surat ini, saya hanya ingin meminta maaf jika betapa pernah tebersit rasa cinta di hati ini. Entah saya yang terbutakan cinta, atau justru kamu yang menguatkan saya. Sungguh saya tak pernah berdusta jika saya benar-benar membenci malam. Tapi setelah saya bertemu denganmu, berutas-utas rindu akan teruntai selalu, semuanya seperti titian dukungan yang tiada habisnya. Terima kasih, Arlina.
Jujur, saya tak mengerti tentang hukum di negeri ini. Hukum seperti memandang kasta, bukan dari penegakan sejati. Entah bagaimana caranya, paman saya yang katanya divonis seumur hidup, beberapa hari lagi akan keluar dari penjara. Kabarnya memang, ia ditolong temannya yang konglomerat. Dan betapa saya menjadi lebih bingung, apa motif sebenarnya paman saya kala itu menyulap dirinya menjadi pencuri!? Karena bagi saya mengeluh dan tetap diam bukanlah hal yang masuk akal, maka, mungkin memang inilah jalan bagi saya untuk menuntut balas. Maafkan saya, Arlina.
Dan teruntuk Eden bintang hati saya yang lain. Kamu juga tak kalah hebatnya dengan Arlina. Kamulah teman lelaki terhebat yang pernah  saya punyai. Betapa saya tak akan melupakan saat kamu mengerjai saya dengan menutup mata ini dengan kedua telapak tanganmu, betapa saya teringat pula kamu mengajak saya untuk bermain petak umpet di malam hari. Saya tahu kamu menyukai Arlina. Pula, lewat surat ini saya mohon dengan sangat, jangan pernah menyakiti hatinya. Maafkan saya Eden, sebab saya pernah mencintai Arlina. Dari sahabat kalian: Rosyad.  
            Kupandangi wajah Eden yang ikut pula membaca surat dari Rosyad. Matanya berkaca-kaca, mungkin juga sama dengan kondisi mataku saat ini. Aku mendongakkan kepala ke arah langit; tak ada bulan di sana karena tertutup mendung yang pekat. Eden lalu memelukku... lama sekali.
            Rintik-rintik gerimis mulai menempias wajah setiap kami. Namun kami tetap berdiri saling mendekap, terpaku di tepi sungai samping rumah Eden. Kupikir benar-benar, sepertinya aku memang telah siap untuk menjadi Middlemist Merah. Dan atas nama kidung hujan di malam ini, aku percaya bahwa Eden benar-benar mencintaiku dengan setulus hati. Meski, pada sisi yang lain hati ini juga meyakini, kendatipun bulan tak tampak dari sini, ia akan tetap bercahaya di belahan dunia lain yang tak pernah kumengerti.

Rabu, 14 Oktober 2015

Bulan dalam Bundaran Asap Rokok




Di halaman sebuah kedai kopi, aku duduk sambil menyaksikan satu per satu raut gembira tiga laki-laki yang semeja denganku. Mungkin, begitu pula dengan setiap mereka: memandangiku, serta mengamati kedua temanku yang lainnya. Dan sepertinya, bulan yang berada jauh di atas sana, juga sedang memerhatikan kami berempat yang sedang bersua.
            Tentu saja, pertemuan ini memang acara kebahagiaan yang yang kami sengajakan; nostalgia masa-masa SMA, antara Ndaru, Respati, Rasyid, dan aku. Sudah berbelas-belas tahun kami tak pernah berjumpa. Padahal, sebetulnya kami berada di provinsi yang sama. Mungkin karena kesibukan atau boleh jadi ketidakberuntungan, maka sebelumnya kami hanya menjalani kehidupan sendiri-sendiri, tanpa saling memikirkan untuk reuni. Dan akhirnya, kerinduanlah yang mengantarkan kami pada malam ini.
            Alangkah berseri-serinya wajah Ndaru, yang baru tahun kemarin dianugerahi anak kembar. Setelah sekian lama dirinya hanya selalu berduet dengan istrinya di dalam rumah, kini ia tampak bahagia dengan kuartetnya.
            “Ehem, Tuhan memang Maha Tahu, ya? Setelah sekian lama menunggu, akhirnya mereka datang juga untukku,” seru Ndaru memulai pembicaraan “menarik” ini, “Padahal, dulu sempat kupikir bahwa takdir itu kejam. Ternyata tak semiris yang kupikirkan, hahaha….” Lelaki yang berambut ikal itu tertawa lebar. Sangat bangga sepertinya.
            “Wooo, bahagia sekali, ya, kawan kita yang satu ini. Terus, bagaimana rasanya. Bolehlah, ceritakan kebahagiaanmu itu dengan kami,” ujar Rasyid. Sepertinya dia yang paling antusias untuk melanjutkan topik pembicaraan. Maklum saja, Rasyid-Ndaru adalah teman sebangku kala itu. Mungkin chemistry mereka menguat kembali saat mereka duduk bersebelahan seperti saat ini.
            “Ah, kamu seperti tak pernah punya anak saja, Syid…Syid. Bukankah dari kita berempat, kaulah yang paling duluan punya momongan, hah?” sergah Respati, teman sebangkuku dulu, juga teman sebelahku saat ini. Ya, kami berempat memang komplotan yang enggan terpisahkan. Tempat duduk kami selalu bergerombol, seperti koloni meerkat[1]. Selalu kompak.
            “Oh, iya, kalian memang tak pernah tahu punya anak kembar rasanya seperti apa. Itu tak terdefinisikan, you know!? Yang jelas aku selalu ingin membuat mereka tertawa. Dan dari situ aku bahagia.” Ndaru tersenyum sambil melirik ke atas, ke rembulan yang selalu tahu apa yang kami bicarakan. Matanya berbinar-binar. Baru kali ini aku melihatnya seserius itu.
            “Namun kau belum pernah tahu rasanya dipuji wali murid anakmu, bukan?” tanya Respati. “Semoga kelak anakmu bisa seperti Superman kecilku. Mendapat peringkat pertama dalam ujian nasional tingkat SD kemarin rasanya seperti…, ah, tak bisa kuutarakan. Si kecil yang selalu minta gendong di punggungku, yang selalu minta dipanggul saat ada karnaval, dan yang selalu minta duduk di depan saat kami sedang mengendarai motor,” tambahnya.
            Rasyid tersenyum sinis. “Jangan senang dulu, kalian hanya belum sampai waktunya saat anak kalian tumbuh dewasa. Kalian seharusnya tahu anakku sekarang sudah jadi gadis, bukan? Yang dulu minta dibelikan mainan plastik, sekarang minta dibelikan kosmetik. Yang dulu minta Barbie sekarang minta Blackberry. Yang dulu sukanya nonton kartun sekarang sukanya nonton Kim Joon atau siapa itu. Yang dulu suka merengek manja di pangkuanku tapi sekarang sudah malu memelukku. Ah, entahlah.” Dia lalu mengangkat satu kakinya di kursi sambil mengisap rokok yang sedari tadi terkunci di antara dua jari. Iya, Rasyid. Ia yang mengajariku merokok saat itu. Yang mengajari aku caranya membuat asap berbentuk lingkaran. Katanya, merokok itu seni melukis kenangan. Termasuk dalam gumpalan-gumpalan seperti donat yang baru saja ia lesakkan, ia dapat melihat memorinya dari dalam sana. Entah bagaimana asal-usul dia mendapatkan pedoman semacam itu.
             Ndaru tergelak. Barangkali, jiwanya masih terbalut dengan kebahagiaan kehadiran putra dan putrinya. “Tapi, bukankah itu kebanggaan yang besar, kau sudah merawatnya hingga titik ini?” Ndaru bersandar sambil membenarkan kacamatanya.
            Rasyid membuat bundaran lagi dari gumpalan asap yang keluar dari mulutnya. Dia melenguh. “Sebenarnya aku bukan ayah yang baik.”
            Kami bertiga saling melirik. Sepertinya ini akan menjadi bahasan yang agak sentimental. Mata kami kembali menuju Rasyid, dan ia pun masih terus memerhatikan bundaran asap yang dibuatnya tadi. Padahal, kupikir asapnya sudah tak kasatmata.
            “Aku selalu melarang apa pun yang ia suka.” Pandangan Rasyid mamang. “Bagiku, belum waktunya ia pacaran. Belum waktunya ia berpisah denganku, merantau kuliah atau apalah, aku belum rela. Jika ia mau, tidur-tiduran saja tak masalah, asal dia tak berada jauh-jauh dari jangkauanku.”
            Aku tertunduk. Perkataan Rasyid ada benarnya juga. Apakah mungkin kelak aku juga akan merasakan kekhawatiran yang sama sepertinya?
            Bulan masih bergeming di atas sana, di langit yang punya berjuta pasang mata berpijar. Atau hanya aku saja yang tak merasa dia bergerak. Ah, dia pasti sedang membaca isi hati ini sekarang. Entah mengapa, aku merasa malam ini bulan terus mengintai kami, terutama aku.
            Barangkali bukan sebuah kebetulan jika ketiga temanku ini melihatku secara serentak. Aku memang belum pernah berucap sepatah kata pun sedari tadi. Bibirku hanya ikut melebar jika mereka semua tersenyum, mulutku ikut menganga jika mereka semua tertawa, dan mataku ikut menghunus jika mereka sedang serius.
            “Hoe, bagaimana dengan anakmu, Has?” tanya Ndaru.
            Kali ini aku merasa disudutkan dengan pertanyaan itu. Ataukah aku yang tidak sadar jika sekarang memang giliranku untuk bercerita. Baiklah, aku akan memulainya.
            “Ehm, Tiara? Belumkah kalian melihat fotonya di Facebookku?” Aku menggaruk-garuk kepala padahal tidak gatal sama sekali. Rasyid mengacungkan sebatang rokok ke arahku, raut mukanya  seperti memaksaku untuk segera bercerita kembali. Maka, kunyalakan rokok yang ditawarkannya itu. Aku pun membentuk bundaran asap. Terkesiap! Benar saja, semua kenanganku ada di dalam sana. Rasyid sepertinya tidak mengada-ada.
            “Maksudku, bagaimana keadaan Tiara kecilmu tanpa Nastiti, Has?” tanya Ndaru.
            Aku memandangi asap yang aku buat tadi. “Oh, aku hanya menjawabnya, ‘Ibu sedang pergi di tempat yang jauh, Nak’. Begitu saja. Aku hanya tak mau dia bersedih seperti yang kamu bilang, kan, Ndar? Sangat bahagia bila melihat buah hati tertawa bukan? Lagipula sudah ada Nadira yang merawatnya.”
            “Nadira? Siapa itu? Istrimu yang baru? Kok tak ada kabar?” Ndaru memberondong aku dengan pertanyaan-pertanyaan sok tahunya. Aduh, aku sebenarnya tak terlalu suka diinterogasi. Biarlah semua ini menjadi privasiku sendiri.
            “Dia pengasuh Tiara,” jawabku singkat.
            “Lalu, kenapa tidak kau nikahi saja dia?”
Lagi-lagi Ndaru. Argh…!
            Aku mencoba mengontrol keadaan. Biarkan cengar-cengir ini saja yang membalas pertanyaan Ndaru. Tak apa-apa semuanya menjadi ambigu, memang seperti itulah tujuanku.
Aku membuat bundaran lagi. Kali ini kuarahkan ke atas. Tepat dari dalam bundaran asap itu, aku melihat sang bulan yang membisu. Aku hanya khawatir padanya. Dia pasti benar-benar tahu bahwa Tiara hanyalah anak adopsi Nastiti dan aku. Namun, semenjak Nastiti meninggal, aku panggil saja ibu aslinya untuk merawat Tiara.    


[1]Meerkat: mamalia, anggota dari keluarga luwak (banyak ditemukan di Gurun Kalahari dan Afrika Selatan). Kelompoknya sering disebut klan, geng, atau mob.

Kamis, 08 Oktober 2015

Abar-Abar Garib (Antologi Balairungpress UGM)




Tiada sesuatu pun yang tersohor di desa ini, kecuali bekas rumah Pak Karnoto. Secara kasatmata, tak ada apa-apa di sana kecuali puing-puing bangunan yang telah porak poranda. Rerumputan dan alang-alang juga tumbuh teramat liar, seakan menobatkan diri sebagai penghapus kenangan. Hijaunya benar-benar membuat hitam seolah lesap, tiada terjangkau legam kecuali diamati lebih saksama. Satu hal yang tidak bisa tertutupi, adalah cerita-cerita aneh yang berkitar mengiringi: tepat di tengah-tengah pekarangan, pada dinding kayu tiada getas, memang ajaib jika tiga tahun silam tak runtuh terlalap api, bahkan, tak berbekas sama sekali meski api sengaja dikobarkan untuk meluluhlantakkan tempat ini.

Dulu sebelum pembakaran itu terjadi, pada pekan ketiga bulan Dzulhijah, orang-orang desa menumpah resah.

“Aku berani bersumpah. Aku melihat Pak Karnoto menjadi makmum di masjid Madinah,” kata Pak Munir.

Konon, Pak Karnoto adalah orang sakti. Orang-orang di desa ini menjulukinya Pak Kyai. Terkenal arif, ramah, serta halus dalam berbudi. Kabarnya, ia adalah keturunan ketujuh Kyai Karnawi, penghuni pertama sekaligus orang yang membabat hutan jati menjadi cikal bakal desa ini. Tentu saja, menurut kepercayaan, orang yang sanggup melakukan hal tersebut hanyalah orang berdigdaya tinggi. Mau tidak mau, sengketa lahan dengan makhluk-makhluk bayangan tidak terelakkan lagi. Namun barangkali, itu tidaklah lebih rumit daripada sengketa absurd berbau kepemerintahan di masa kini.

 “Wah, aku juga melihatnya, Pak. Pak Karnoto mencium Hajar Aswad[1],” tambah Pak Syuaib.

Lalu, gosip itu merebak seketika. Diteruskan dari mulut ke mulut, pintu ke pintu, berputar, terus menerus hingga akhirnya sampailah ke telinga Pak Munir dan Pak Syuaib kembali. Isu tersebut mewabah begitu saja, menyerang ke mana-mana, bagai pagebluk yang melanda. Semua mulut yang bersuara, pasti tak jauh-jauh dari Pak Karnoto obrolannya. Hal tersebut dikarenakan pada hari ketika Pak Munir dan Pak Syuaib pergi ke tanah suci, Pak Karnoto masih tampak wara-wiri di desa ini. Tentu menjadi kejanggalan mengingat manusia muskil teleportasi.

“Saya pernah melihat Pak Karnoto menembus tembok samping rumahnya,” ujar seorang pemuda bernama Sentanu.

***

Saya seperti terperosok ke dalam dunia nan tidak semestinya saya kunjungi. Tapi, begitu mata ini tertumbuk dinding di bagian sisi rumah Pak Karnoto, pandangan saya seperti terperangkap, sukar sekali untuk keluar. Sebagaimana mestinya saya bisa menghindari dengan memejamkan mata, namun di saat itu pula segalanya menjadi sulit. 

            Saya benar-benar melihatnya. Dinding itu terawang, sebening gelembung sabun yang telus pandang. Di sana, saya melihat ruangan dari batu pualam keunguan, rapi, seakan sengaja dijajarkan. Tapi ketika saya beringsut mendekati dinding itu, bilik di dalamnya berubah menjadi luas, sangat luas. Seperti tiada batas. Dan saya pun benar-benar ingin masuk.

            “Assalamu’alaikum,” begitu sapa saya. Tak ada jawaban yang terdengar setelahnya. Kendati nurani saya melarang, namun rasa penasaran rupanya jauh lebih besar. Saya pun melangkahkan kaki. 

          Saat dinding tak lebih jauh dari satu kaki, tiba-tiba ada kekuatan yang seperti menarik saya. Saya terisap. Tangan mencoba menggeragap, tapi tak ada sesuatu yang bisa saya gapai untuk berpegangan. Saya tersedot tanpa daya, tubuh terangkat tiba-tiba, melayang pasrah seperti anai-anai yang tercampak ke udara.

            Entah bagaimana ceritanya, saya sudah berada di dalam bilik berpintu banyak. Sebegitu banyak, bahkan, ketika saya menengok ke belakang pun tetap mendapati pintu yang banyak. Saya terdiam sejenak, karena sejujurnya, saya sudah mulai takut. Ingin pulang, namun tak mengerti pintu mana yang mesti dimasuki. Perlahan, saya menarik napas, lantas memilih untuk membuka pintu yang berada tepat di hadapan.

 “Assalamu’alaikum,” begitu ucap saya lagi. Jantung saya berdegup lebih cepat kali ini.

Ketika saya mencoba melongok untuk memastikan keadaan—apa yang ada di balik pintu, tubuh saya seperti terdorong tenaga yang sangat kuat. Sedemikian kuatnya hingga tubuh ini terpelanting begitu saja—lagi-lagi entah bagaimana ceritanya, kemudian pintu itu sirna. Saya sudah berada di suatu tempat, yang boleh dikatakan seperti kota yang gemerlap. Cahaya lampu berpendar di mana-mana, begitu cemerlang, serempak kerlap-kerlip, seolah siang dan malam terasa sangat cepat. Di kanan kiri, gedung tinggi terberumbun, membenamkan tubuh saya yang katakan saja lebih mirip repihan roti di istana raksasa.

“Cucuku!”

Sesosok bayangan hitam tiba-tiba sudah berada di samping saya. Begitu saya menoleh, terbelalaklah saya melihat wujudnya. Ia berbeda dengan manusia kebanyakan. Atau memang ia bukan manusia. Ia pasti iblis. Kulitnya hitam, sehitam-hitamnya hitam. Mata menyala seperti memijarkan api, gigi taringnya memanjang sampai ke kaki. Lalu, ia tertawa dengan suara yang membelah langit. Berdahanam. Tubuhnya  tiba-tiba membesar, semakin besar, seolah tiada lagi yang lebih besar. Saya takut sekali.
          Untunglah, seseorang "membangunkan" saya....

***

Binar matanya tergerus kegamangan. Memerah serta berkaca-kaca, begitu nyata seolah hatinya sedang dicakar kengerian. Apalagi kini malam mulai merayap, dalam sekejap, bibirnya pun menjadi tungkap. Sorot mata yang ia tunjukkan memang seperti sedang menyaksikan tragedi yang paling mengerikan. Tak pernah ada sepatah kata yang mencelus dari mulutnya, ia hanya tetap terdiam, patuh dengan rahasia yang mungkin saja tak pernah ingin ia sembunyikan. Ingin tersingkap, namun sulit untuk dikatakan, begitulah barangkali pikirnya.

            “Gedung itu menjulang begitu tinggi,” katanya tiba-tiba.

            Lalu, ia pun menceracau tentang kabut yang tebal, bergelintin, seperti asap yang tak pernah lingkap. Kepulan-kepulan tersebut membentuk layar, memutar ulang memori-memori di setiap bilik otaknya, katanya. Membawa pada peristiwa yang tak pernah ia ingat, atau sebenarnya belumlah terjadi.

            “Saya melihat masa depan!”

            Aku memandanginya. Matanya nanar, seperti belum sepenuhnya tersadar. Kugoncang-goncangkan bahunya, ia pun berkedip-kedip. Kebingungan.

            “Pak Kyai!”

            “Kamu tidak apa-apa Sentanu?”

            Sentanu tertegun melihatku. Beberapa jenak ia terpaku.

            “Pak Kyai kenapa bisa berada di sini?”

            “Lho, ini kan rumahku!?”

            Sentanu mengedarkan pandangan ke sekitar. Tampak manik matanya bergerak-gerak. Tak beberapa lama setelahnya, ia berlari meninggalkanku. Tunggang langgang seperti melihat hantu.

***

“Penghuninya kabur!”

            “Dasar kyai gadungan!”

Pekikan-pekikan itu membahana pada suatu malam di bulan Asyura. Warga desa menyatroni rumah Pak Karnoto. Berbondong-bondong, berkumpul di depan rumah, lengkap bersama emosi yang telah menguasai hati.           

“Bakar!”

            “Hanguskan semuanya!”

            Amarah warga desa tumpah ketika kabar angin menyeruak. Pak Karnoto dituduh terkait dengan kematian beberapa warga akhir-akhir ini. Kematian yang bermotif sama: perut menggembung, pias, membesar, lalu pecah mengeluarkan darah, nanah, beserta lintah. Pak Karnoto dituduh sebagai dukun santet. Semua orang tahu, Pak Karnoto adalah orang sakti. 

             "Aku semakin yakin kalau Pak Karnoto tukang teluh, Pak," bisik Pak Syuaib kepada orang di sebelahnya. Pak Munir pun mengangguk-angguk mendengarnya. 

Pelan-pelan, api membakar segalanya. Asap menabun tinggi ke angkasa. Menggumpal. Berkobar-kobar. Hatta, malam ini semuanya menjadi paradoks. Malam yang biasanya sepi, kali ini begitu riuh; malam yang biasanya gulita, kini api memudarkan kegelapannya; malam yang biasanya dingin, kini sangat panas, sepanas keberangan warga. 

“Jangan ada yang tersisa!”

Nyatanya, tatkala kini api telah padam, orang-orang belumlah puas. Satu hal yang membuat mereka tak habis pikir: sebuah dinding kayu tidaklah gosong, bahkan sama sekali tidak tercium api. 

Belum usai orang-orang tertegun menyaksikan hal janggal tersebut, sekali lagi mereka tergemap. Angin dingin tiba-tiba bertiup kencang, bersamaan pula dengan rintik hujan yang meredakan sisa-sisa api. 

Dari dinding, muncullah lelaki tua berserban putih. Menjengul begitu saja. Kumis dan jambangnya lebat, pula berwarna putih, seputih kapas yang bersih.

“Siapa kau?” tanya Pak Syuaib.

 Orang-orang dengan saksama menyaksikannya.

 "Aku mencari orang yang bernama Sentanu!” ujar orang itu dengan suara keras.

“Ada urusan apa Anda dengan Sentanu?” Seseorang membuka suara juga.

Mendengar pertanyaan tersebut, sorot pandang lelaki tua itu menajam. Semua orang pun terdiam. 

“Dia ke sini bersama dengan iblis hitam penebar fitnah,” ungkapnya.

Orang-orang menoleh ke kanan-kiri, saling bersitatap. Beberapa orang mengedikkan bahu. Ironisnya, Sentanu memang tidaklah sedang di situ.

"Ampuuun!" 

Terdengar suara seseorang dari dalam dinding. Keluarlah dua orang dari sana. 

"Sentanu!?"

"Pak Kyai!?"

Orang-orang kian terperangah oleh kemunculan dua manusia itu. Ada yang mengerjap-ngerjapkan mata sambil melongo, ada pula yang memukul-mukul kepalanya seakan tidak percaya bahwa semuanya adalah hal yang nyata.

"Ampuuun, Pak Kyai. Ampuuun!"

Pak Karnoto mencengkeram keras tengkuk Sentanu. "Ayo, mengakulah kepada warga desa."

Sebelum mulut Sentanu terbuka, sebelum semuanya diakuinya, tiba-tiba, tubuhnya bergetar. Kekuatannya meningkat berlipat ganda. Pak Karnoto pun mesti terpental karena kibasan tangan si pemuda yang sedang dicoba diringkusnya itu. Mata Sentanu merah, marah. Setelahnya, mencagunlah sosok hitam yang begitu besar, suaranya menggelegar, membuat semua orang  menjadi gemetar. Kecuali lelaki tua berserban putih, yang sejatinya adalah Kyai Karnawi. 

"Tunggu pembalasanku pada anak keturunanmu, Karnawi!" ujar iblis hitam itu sesaat sebelum ia sirna masuk ke dinding. Karnawi yang mencurigai iblis itu akan lari pun segera melompat ke arahnya. Namun, si iblis ternyata lebih gesit daripadanya. Si iblis raib, begitu pula Karnawi yang menghilang karena melakukan pengejaran ke dalam dinding ruang dan waktu itu. Tiada yang pernah tahu bagaimana akhirnya nasib si iblis; apa ia tertangkap, atau lolos, atau, boleh jadi, iblis hitam itu kini sedang di sampingmu?

          









[1] Hajar Aswad: sebuah batu yang diyakini oleh umat Islam berasal dari surga, kini digunakan sebagai penghias ka’bah.