Di
halaman sebuah kedai kopi, aku duduk sambil menyaksikan satu per satu raut
gembira tiga laki-laki yang semeja denganku. Mungkin,
begitu pula dengan setiap mereka: memandangiku, serta mengamati kedua temanku yang lainnya. Dan sepertinya, bulan yang berada jauh di atas sana, juga sedang memerhatikan kami berempat yang sedang
bersua.
Tentu saja, pertemuan ini memang acara kebahagiaan
yang yang kami sengajakan; nostalgia masa-masa SMA, antara Ndaru, Respati, Rasyid, dan aku. Sudah berbelas-belas
tahun kami tak pernah berjumpa. Padahal, sebetulnya kami berada di provinsi yang
sama. Mungkin karena kesibukan atau boleh jadi ketidakberuntungan, maka sebelumnya kami hanya
menjalani kehidupan sendiri-sendiri, tanpa saling memikirkan untuk reuni. Dan akhirnya, kerinduanlah yang mengantarkan kami pada malam ini.
Alangkah berseri-serinya wajah
Ndaru, yang baru tahun kemarin dianugerahi anak kembar. Setelah sekian lama
dirinya hanya selalu berduet dengan istrinya di dalam rumah, kini ia tampak bahagia dengan kuartetnya.
“Ehem, Tuhan memang Maha Tahu, ya?
Setelah sekian lama menunggu, akhirnya mereka datang juga untukku,” seru Ndaru
memulai pembicaraan “menarik” ini, “Padahal, dulu sempat kupikir bahwa takdir
itu kejam. Ternyata tak semiris yang kupikirkan, hahaha….” Lelaki yang berambut
ikal itu tertawa lebar. Sangat bangga sepertinya.
“Wooo, bahagia sekali, ya, kawan
kita yang satu ini. Terus, bagaimana rasanya. Bolehlah, ceritakan kebahagiaanmu
itu dengan kami,” ujar Rasyid. Sepertinya dia yang paling antusias untuk
melanjutkan topik pembicaraan. Maklum saja, Rasyid-Ndaru adalah teman sebangku kala itu. Mungkin chemistry mereka
menguat kembali saat mereka duduk bersebelahan seperti saat ini.
“Ah, kamu seperti tak pernah punya
anak saja, Syid…Syid. Bukankah dari kita berempat, kaulah yang paling duluan
punya momongan, hah?” sergah Respati, teman sebangkuku dulu, juga teman
sebelahku saat ini. Ya, kami berempat memang komplotan yang enggan terpisahkan.
Tempat duduk kami selalu bergerombol, seperti koloni meerkat[1]. Selalu kompak.
“Oh, iya, kalian memang tak pernah
tahu punya anak kembar rasanya seperti apa. Itu tak terdefinisikan, you know!? Yang jelas aku selalu ingin
membuat mereka tertawa. Dan dari situ aku bahagia.” Ndaru tersenyum sambil
melirik ke atas, ke rembulan yang selalu tahu apa yang kami bicarakan. Matanya
berbinar-binar. Baru kali ini aku melihatnya seserius itu.
“Namun kau belum pernah tahu rasanya
dipuji wali murid anakmu, bukan?” tanya Respati. “Semoga kelak anakmu bisa
seperti Superman kecilku. Mendapat peringkat pertama dalam ujian nasional tingkat
SD kemarin rasanya seperti…, ah, tak bisa kuutarakan. Si kecil yang selalu
minta gendong di punggungku, yang selalu minta dipanggul saat ada karnaval, dan
yang selalu minta duduk di depan saat kami sedang mengendarai motor,”
tambahnya.
Rasyid tersenyum sinis. “Jangan
senang dulu, kalian hanya belum sampai waktunya saat anak kalian tumbuh dewasa.
Kalian seharusnya tahu anakku sekarang sudah jadi gadis, bukan? Yang dulu minta
dibelikan mainan plastik, sekarang minta dibelikan kosmetik. Yang dulu minta Barbie
sekarang minta Blackberry. Yang dulu
sukanya nonton kartun sekarang sukanya nonton Kim Joon atau siapa itu.
Yang dulu suka merengek manja di pangkuanku tapi sekarang sudah malu memelukku. Ah, entahlah.”
Dia lalu mengangkat satu kakinya di kursi sambil mengisap rokok yang sedari tadi
terkunci di antara dua jari. Iya, Rasyid. Ia yang mengajariku merokok saat itu.
Yang mengajari aku caranya membuat asap berbentuk lingkaran. Katanya, merokok
itu seni melukis kenangan. Termasuk dalam gumpalan-gumpalan seperti donat yang
baru saja ia lesakkan, ia dapat melihat memorinya dari dalam sana. Entah
bagaimana asal-usul dia mendapatkan pedoman semacam itu.
Ndaru tergelak. Barangkali, jiwanya masih
terbalut dengan kebahagiaan kehadiran putra dan putrinya. “Tapi, bukankah itu
kebanggaan yang besar, kau sudah merawatnya hingga titik ini?” Ndaru bersandar
sambil membenarkan kacamatanya.
Rasyid membuat bundaran lagi dari
gumpalan asap yang keluar dari mulutnya. Dia melenguh. “Sebenarnya aku bukan
ayah yang baik.”
Kami bertiga saling melirik.
Sepertinya ini akan menjadi bahasan yang agak sentimental. Mata kami kembali
menuju Rasyid, dan ia pun masih terus memerhatikan bundaran asap yang dibuatnya
tadi. Padahal, kupikir asapnya sudah tak kasatmata.
“Aku selalu melarang apa pun yang ia
suka.” Pandangan Rasyid mamang. “Bagiku, belum waktunya ia pacaran. Belum
waktunya ia berpisah denganku, merantau kuliah atau apalah, aku belum rela.
Jika ia mau, tidur-tiduran saja tak masalah, asal dia tak berada jauh-jauh dari
jangkauanku.”
Aku tertunduk. Perkataan Rasyid ada
benarnya juga. Apakah mungkin kelak aku juga akan merasakan kekhawatiran yang
sama sepertinya?
Bulan masih bergeming di atas sana, di
langit yang punya berjuta pasang mata berpijar. Atau hanya aku saja yang tak merasa dia bergerak. Ah, dia pasti
sedang membaca isi hati ini sekarang. Entah mengapa, aku merasa malam ini bulan terus mengintai
kami, terutama aku.
Barangkali bukan sebuah kebetulan
jika ketiga temanku ini melihatku secara serentak. Aku memang belum pernah
berucap sepatah kata pun sedari tadi. Bibirku hanya ikut melebar jika mereka
semua tersenyum, mulutku ikut menganga jika mereka semua tertawa, dan mataku
ikut menghunus jika mereka sedang serius.
“Hoe, bagaimana dengan anakmu, Has?”
tanya Ndaru.
Kali ini aku merasa disudutkan
dengan pertanyaan itu. Ataukah aku yang tidak sadar jika sekarang memang giliranku
untuk bercerita. Baiklah, aku akan memulainya.
“Ehm, Tiara? Belumkah kalian melihat
fotonya di Facebookku?” Aku menggaruk-garuk kepala padahal tidak gatal sama
sekali. Rasyid mengacungkan sebatang rokok ke arahku, raut mukanya seperti memaksaku untuk
segera bercerita kembali. Maka, kunyalakan rokok yang ditawarkannya itu. Aku
pun membentuk bundaran asap. Terkesiap! Benar saja, semua kenanganku ada di
dalam sana. Rasyid sepertinya tidak mengada-ada.
“Maksudku, bagaimana keadaan Tiara
kecilmu tanpa Nastiti, Has?” tanya Ndaru.
Aku memandangi asap yang aku buat
tadi. “Oh, aku hanya menjawabnya, ‘Ibu sedang pergi di tempat yang jauh, Nak’.
Begitu saja. Aku hanya tak mau dia bersedih seperti yang kamu bilang, kan,
Ndar? Sangat bahagia bila melihat buah hati tertawa bukan? Lagipula sudah ada
Nadira yang merawatnya.”
“Nadira? Siapa itu? Istrimu yang
baru? Kok tak ada kabar?” Ndaru memberondong aku dengan pertanyaan-pertanyaan
sok tahunya. Aduh, aku sebenarnya tak terlalu suka diinterogasi. Biarlah semua
ini menjadi privasiku sendiri.
“Dia pengasuh Tiara,” jawabku
singkat.
“Lalu, kenapa tidak kau nikahi saja
dia?”
Lagi-lagi
Ndaru. Argh…!
Aku mencoba mengontrol keadaan.
Biarkan cengar-cengir ini saja yang membalas pertanyaan Ndaru. Tak apa-apa
semuanya menjadi ambigu, memang seperti itulah tujuanku.
Aku
membuat bundaran lagi. Kali ini kuarahkan ke atas. Tepat dari dalam bundaran
asap itu, aku melihat sang bulan yang membisu. Aku hanya khawatir padanya. Dia
pasti benar-benar tahu bahwa Tiara hanyalah anak adopsi Nastiti dan aku. Namun,
semenjak Nastiti meninggal, aku panggil saja ibu aslinya untuk merawat Tiara.
[1]Meerkat: mamalia, anggota dari keluarga luwak (banyak ditemukan di Gurun Kalahari dan Afrika Selatan). Kelompoknya sering disebut klan, geng, atau mob.
[1]Meerkat: mamalia, anggota dari keluarga luwak (banyak ditemukan di Gurun Kalahari dan Afrika Selatan). Kelompoknya sering disebut klan, geng, atau mob.
Twistnyaaaa oks bangeettt waw...unpredictable...ceritanya singkat tapi padet makna...jooss waw
BalasHapusAaak, makasih, Mbak.
HapusGile! Percakapan sederhana penuh makna.
BalasHapusWah, ada Mas Agus *sungkem* hahaha. Makasih, Mas =)
Hapus