Laman

Kamis, 08 Oktober 2015

Abar-Abar Garib (Antologi Balairungpress UGM)




Tiada sesuatu pun yang tersohor di desa ini, kecuali bekas rumah Pak Karnoto. Secara kasatmata, tak ada apa-apa di sana kecuali puing-puing bangunan yang telah porak poranda. Rerumputan dan alang-alang juga tumbuh teramat liar, seakan menobatkan diri sebagai penghapus kenangan. Hijaunya benar-benar membuat hitam seolah lesap, tiada terjangkau legam kecuali diamati lebih saksama. Satu hal yang tidak bisa tertutupi, adalah cerita-cerita aneh yang berkitar mengiringi: tepat di tengah-tengah pekarangan, pada dinding kayu tiada getas, memang ajaib jika tiga tahun silam tak runtuh terlalap api, bahkan, tak berbekas sama sekali meski api sengaja dikobarkan untuk meluluhlantakkan tempat ini.

Dulu sebelum pembakaran itu terjadi, pada pekan ketiga bulan Dzulhijah, orang-orang desa menumpah resah.

“Aku berani bersumpah. Aku melihat Pak Karnoto menjadi makmum di masjid Madinah,” kata Pak Munir.

Konon, Pak Karnoto adalah orang sakti. Orang-orang di desa ini menjulukinya Pak Kyai. Terkenal arif, ramah, serta halus dalam berbudi. Kabarnya, ia adalah keturunan ketujuh Kyai Karnawi, penghuni pertama sekaligus orang yang membabat hutan jati menjadi cikal bakal desa ini. Tentu saja, menurut kepercayaan, orang yang sanggup melakukan hal tersebut hanyalah orang berdigdaya tinggi. Mau tidak mau, sengketa lahan dengan makhluk-makhluk bayangan tidak terelakkan lagi. Namun barangkali, itu tidaklah lebih rumit daripada sengketa absurd berbau kepemerintahan di masa kini.

 “Wah, aku juga melihatnya, Pak. Pak Karnoto mencium Hajar Aswad[1],” tambah Pak Syuaib.

Lalu, gosip itu merebak seketika. Diteruskan dari mulut ke mulut, pintu ke pintu, berputar, terus menerus hingga akhirnya sampailah ke telinga Pak Munir dan Pak Syuaib kembali. Isu tersebut mewabah begitu saja, menyerang ke mana-mana, bagai pagebluk yang melanda. Semua mulut yang bersuara, pasti tak jauh-jauh dari Pak Karnoto obrolannya. Hal tersebut dikarenakan pada hari ketika Pak Munir dan Pak Syuaib pergi ke tanah suci, Pak Karnoto masih tampak wara-wiri di desa ini. Tentu menjadi kejanggalan mengingat manusia muskil teleportasi.

“Saya pernah melihat Pak Karnoto menembus tembok samping rumahnya,” ujar seorang pemuda bernama Sentanu.

***

Saya seperti terperosok ke dalam dunia nan tidak semestinya saya kunjungi. Tapi, begitu mata ini tertumbuk dinding di bagian sisi rumah Pak Karnoto, pandangan saya seperti terperangkap, sukar sekali untuk keluar. Sebagaimana mestinya saya bisa menghindari dengan memejamkan mata, namun di saat itu pula segalanya menjadi sulit. 

            Saya benar-benar melihatnya. Dinding itu terawang, sebening gelembung sabun yang telus pandang. Di sana, saya melihat ruangan dari batu pualam keunguan, rapi, seakan sengaja dijajarkan. Tapi ketika saya beringsut mendekati dinding itu, bilik di dalamnya berubah menjadi luas, sangat luas. Seperti tiada batas. Dan saya pun benar-benar ingin masuk.

            “Assalamu’alaikum,” begitu sapa saya. Tak ada jawaban yang terdengar setelahnya. Kendati nurani saya melarang, namun rasa penasaran rupanya jauh lebih besar. Saya pun melangkahkan kaki. 

          Saat dinding tak lebih jauh dari satu kaki, tiba-tiba ada kekuatan yang seperti menarik saya. Saya terisap. Tangan mencoba menggeragap, tapi tak ada sesuatu yang bisa saya gapai untuk berpegangan. Saya tersedot tanpa daya, tubuh terangkat tiba-tiba, melayang pasrah seperti anai-anai yang tercampak ke udara.

            Entah bagaimana ceritanya, saya sudah berada di dalam bilik berpintu banyak. Sebegitu banyak, bahkan, ketika saya menengok ke belakang pun tetap mendapati pintu yang banyak. Saya terdiam sejenak, karena sejujurnya, saya sudah mulai takut. Ingin pulang, namun tak mengerti pintu mana yang mesti dimasuki. Perlahan, saya menarik napas, lantas memilih untuk membuka pintu yang berada tepat di hadapan.

 “Assalamu’alaikum,” begitu ucap saya lagi. Jantung saya berdegup lebih cepat kali ini.

Ketika saya mencoba melongok untuk memastikan keadaan—apa yang ada di balik pintu, tubuh saya seperti terdorong tenaga yang sangat kuat. Sedemikian kuatnya hingga tubuh ini terpelanting begitu saja—lagi-lagi entah bagaimana ceritanya, kemudian pintu itu sirna. Saya sudah berada di suatu tempat, yang boleh dikatakan seperti kota yang gemerlap. Cahaya lampu berpendar di mana-mana, begitu cemerlang, serempak kerlap-kerlip, seolah siang dan malam terasa sangat cepat. Di kanan kiri, gedung tinggi terberumbun, membenamkan tubuh saya yang katakan saja lebih mirip repihan roti di istana raksasa.

“Cucuku!”

Sesosok bayangan hitam tiba-tiba sudah berada di samping saya. Begitu saya menoleh, terbelalaklah saya melihat wujudnya. Ia berbeda dengan manusia kebanyakan. Atau memang ia bukan manusia. Ia pasti iblis. Kulitnya hitam, sehitam-hitamnya hitam. Mata menyala seperti memijarkan api, gigi taringnya memanjang sampai ke kaki. Lalu, ia tertawa dengan suara yang membelah langit. Berdahanam. Tubuhnya  tiba-tiba membesar, semakin besar, seolah tiada lagi yang lebih besar. Saya takut sekali.
          Untunglah, seseorang "membangunkan" saya....

***

Binar matanya tergerus kegamangan. Memerah serta berkaca-kaca, begitu nyata seolah hatinya sedang dicakar kengerian. Apalagi kini malam mulai merayap, dalam sekejap, bibirnya pun menjadi tungkap. Sorot mata yang ia tunjukkan memang seperti sedang menyaksikan tragedi yang paling mengerikan. Tak pernah ada sepatah kata yang mencelus dari mulutnya, ia hanya tetap terdiam, patuh dengan rahasia yang mungkin saja tak pernah ingin ia sembunyikan. Ingin tersingkap, namun sulit untuk dikatakan, begitulah barangkali pikirnya.

            “Gedung itu menjulang begitu tinggi,” katanya tiba-tiba.

            Lalu, ia pun menceracau tentang kabut yang tebal, bergelintin, seperti asap yang tak pernah lingkap. Kepulan-kepulan tersebut membentuk layar, memutar ulang memori-memori di setiap bilik otaknya, katanya. Membawa pada peristiwa yang tak pernah ia ingat, atau sebenarnya belumlah terjadi.

            “Saya melihat masa depan!”

            Aku memandanginya. Matanya nanar, seperti belum sepenuhnya tersadar. Kugoncang-goncangkan bahunya, ia pun berkedip-kedip. Kebingungan.

            “Pak Kyai!”

            “Kamu tidak apa-apa Sentanu?”

            Sentanu tertegun melihatku. Beberapa jenak ia terpaku.

            “Pak Kyai kenapa bisa berada di sini?”

            “Lho, ini kan rumahku!?”

            Sentanu mengedarkan pandangan ke sekitar. Tampak manik matanya bergerak-gerak. Tak beberapa lama setelahnya, ia berlari meninggalkanku. Tunggang langgang seperti melihat hantu.

***

“Penghuninya kabur!”

            “Dasar kyai gadungan!”

Pekikan-pekikan itu membahana pada suatu malam di bulan Asyura. Warga desa menyatroni rumah Pak Karnoto. Berbondong-bondong, berkumpul di depan rumah, lengkap bersama emosi yang telah menguasai hati.           

“Bakar!”

            “Hanguskan semuanya!”

            Amarah warga desa tumpah ketika kabar angin menyeruak. Pak Karnoto dituduh terkait dengan kematian beberapa warga akhir-akhir ini. Kematian yang bermotif sama: perut menggembung, pias, membesar, lalu pecah mengeluarkan darah, nanah, beserta lintah. Pak Karnoto dituduh sebagai dukun santet. Semua orang tahu, Pak Karnoto adalah orang sakti. 

             "Aku semakin yakin kalau Pak Karnoto tukang teluh, Pak," bisik Pak Syuaib kepada orang di sebelahnya. Pak Munir pun mengangguk-angguk mendengarnya. 

Pelan-pelan, api membakar segalanya. Asap menabun tinggi ke angkasa. Menggumpal. Berkobar-kobar. Hatta, malam ini semuanya menjadi paradoks. Malam yang biasanya sepi, kali ini begitu riuh; malam yang biasanya gulita, kini api memudarkan kegelapannya; malam yang biasanya dingin, kini sangat panas, sepanas keberangan warga. 

“Jangan ada yang tersisa!”

Nyatanya, tatkala kini api telah padam, orang-orang belumlah puas. Satu hal yang membuat mereka tak habis pikir: sebuah dinding kayu tidaklah gosong, bahkan sama sekali tidak tercium api. 

Belum usai orang-orang tertegun menyaksikan hal janggal tersebut, sekali lagi mereka tergemap. Angin dingin tiba-tiba bertiup kencang, bersamaan pula dengan rintik hujan yang meredakan sisa-sisa api. 

Dari dinding, muncullah lelaki tua berserban putih. Menjengul begitu saja. Kumis dan jambangnya lebat, pula berwarna putih, seputih kapas yang bersih.

“Siapa kau?” tanya Pak Syuaib.

 Orang-orang dengan saksama menyaksikannya.

 "Aku mencari orang yang bernama Sentanu!” ujar orang itu dengan suara keras.

“Ada urusan apa Anda dengan Sentanu?” Seseorang membuka suara juga.

Mendengar pertanyaan tersebut, sorot pandang lelaki tua itu menajam. Semua orang pun terdiam. 

“Dia ke sini bersama dengan iblis hitam penebar fitnah,” ungkapnya.

Orang-orang menoleh ke kanan-kiri, saling bersitatap. Beberapa orang mengedikkan bahu. Ironisnya, Sentanu memang tidaklah sedang di situ.

"Ampuuun!" 

Terdengar suara seseorang dari dalam dinding. Keluarlah dua orang dari sana. 

"Sentanu!?"

"Pak Kyai!?"

Orang-orang kian terperangah oleh kemunculan dua manusia itu. Ada yang mengerjap-ngerjapkan mata sambil melongo, ada pula yang memukul-mukul kepalanya seakan tidak percaya bahwa semuanya adalah hal yang nyata.

"Ampuuun, Pak Kyai. Ampuuun!"

Pak Karnoto mencengkeram keras tengkuk Sentanu. "Ayo, mengakulah kepada warga desa."

Sebelum mulut Sentanu terbuka, sebelum semuanya diakuinya, tiba-tiba, tubuhnya bergetar. Kekuatannya meningkat berlipat ganda. Pak Karnoto pun mesti terpental karena kibasan tangan si pemuda yang sedang dicoba diringkusnya itu. Mata Sentanu merah, marah. Setelahnya, mencagunlah sosok hitam yang begitu besar, suaranya menggelegar, membuat semua orang  menjadi gemetar. Kecuali lelaki tua berserban putih, yang sejatinya adalah Kyai Karnawi. 

"Tunggu pembalasanku pada anak keturunanmu, Karnawi!" ujar iblis hitam itu sesaat sebelum ia sirna masuk ke dinding. Karnawi yang mencurigai iblis itu akan lari pun segera melompat ke arahnya. Namun, si iblis ternyata lebih gesit daripadanya. Si iblis raib, begitu pula Karnawi yang menghilang karena melakukan pengejaran ke dalam dinding ruang dan waktu itu. Tiada yang pernah tahu bagaimana akhirnya nasib si iblis; apa ia tertangkap, atau lolos, atau, boleh jadi, iblis hitam itu kini sedang di sampingmu?

          









[1] Hajar Aswad: sebuah batu yang diyakini oleh umat Islam berasal dari surga, kini digunakan sebagai penghias ka’bah.


10 komentar:

  1. Wiiihhhh idenya antimainstream waaw 👏👏 diksimu kini ku bisa mengerti hahaha.. dan tu kamu make 2 pov ya??suughoooiiii 👍👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbk. Hahaha. Alhamdulillah kalau disukai. Aaaak...

      Hapus
  2. Baru baca ini mas Waw, bener kata Kak Rara Antimainstream (y)

    baca tulisan ini nggak bisa sambil lalu, harus konsentrasi (atau aku yg lola ya? hehe)
    pantas aja jadi pemenangnya. Selamat Mas, idenya keren!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha itu cerpen absurd, kok. Kaya yang nulis, hahaha. Makasih Rezthy udah maen ke sini 😀

      Hapus
  3. Sureal yaaa seperti mas waw biasanya. hehehe
    Idenya memang anti mainstream, makanya pantas menang.. hehehe.
    Diksinya juga bagus, Mas.. :D

    BalasHapus
  4. Asiiik yang menang. Ribuan jempol buatmu deh, Bang. hehehehe.
    Tapi aku perlu dua kali baca baru mudeng *duuh lolanya dakuuh

    BalasHapus
  5. congratz maswaw, cerpennya menang tantangan minggu ini XD so far, dari cerpen sureal yang lain, ini yang kontemplatif++, meskipun plotnya bikin aku harus meraba di tiap scene, hingga dua ato tiga kali baca ulang sampe buatku paham pada akhirnya. Oya, diksinya maskulinnya muncul lagi di cerpen ini. banyak rima tapi smooth gak terkesan mekso. kusukaa #fansdiksimaskulingariskeras.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wuih (((diksi maskulin))). Makasih Serli udah berkunjung ke sini. =)

      Hapus