“Dunia ini begitu kejam,” katanya
sambil menyeka air mata.
Sebagaimana
layaknya kebanyakan perempuan, ia menganggap menangis bukanlah suatu kelemahan, melainkan simbol dari kekuatan perasaan. Baginya, orang yang lemah tak akan pernah
bisa menangis, bahkan sekalipun ditimpa musibah tragis. Orang lemah juga
tidak tahu bagaimana cara menitikkan air mata dengan cara yang paling
bijaksana, katanya, sebab mereka pandai berpura-pura. Sederhananya, orang lemah
ingin kelihatan selalu tegar padahal merah hatinya kian memudar.
“Tuhan
pun tak pernah membelaku,” lanjutnya.
Begitulah yang dilakukan perempuan
itu tatkala siang tidak dirasanya terang, mendung menggantung selaras dengan
hatinya yang murung, lalu, ia memilih untuk duduk agak terakuk di kursi
taman kota sembari memangku sebuah boneka panda lusuh tapi harum baunya. Jika
kau melihat lebih dekat, asalkan kau tidak buta, kau akan tahu jika perempuan
itu beraut pilu, seolah-seolah hanya ia satu-satunya orang di dunia ini yang
memikul sendu. Pula jika kau lebih giat untuk mendekat, asal telingamu masih
wajar untuk mendengar, kau akan mendapati suara seperti lebah yang mendengung
dari pita suaranya yang bergetar.
“Kau
tidak apa-apa?” tanya seorang lelaki yang kebetulan lewat dan berhenti di
depannya.
Perempuan itu selalu tahu bagaimana
caranya mencari perhatian. Maka, jika sudah ada lelaki yang kelihatan
penasaran, apalagi tampan, ia pun mengeraskan volume tangisan. Lelaki itu diam
sejenak, menengok ke kiri dan kanan, menggaruk-garuk kepala, kebingungan,
antara kasihan atau menganggapnya gila.
Beruntungnya, perempuan berambut kuncir
kuda tersebut berwajah imut-imut. Tiada sesenti saja kulit mukanya mengerut
keriput. Pula jika diamati dengan saksama, parasnya begitu manis. Ditambah
sempurna dengan tubuh yang dibalut pakaian serba modis. “Oh, bukan orang gila
sepertinya,” batin lelaki itu.
Meski masih diliputi keraguan,
lelaki berhidung bangir itu pun memberanikan diri untuk duduk di samping sang
perempuan.
“Kau
tidak sedang tersesat, kan?”
Perempuan itu menggeleng pelan.
Tangisannya kini mulai memelan.
“Lalu?” tanya si lelaki lagi.
Beberapa jenak kelengangan melanda.
Si lelaki yang sebetulnya cukup khawatir jika saat itu ada orang yang
memerhatikan, kemudian menaruh prasangka yang bukan-bukan, sesegera mungkin memastikan
sekeliling keadaan.
Dari
mata ia memandang, di sebelah kiri yang cukup jauh sebetulnya, sepasang muda-mudi
tengah bercanda-tawa di depan sekerumunan mawar nan merah merona. Sesekali
salah satu dari mereka mencubit pipi pasangannya dengan gemas, lantas, keduanya
saling membalas. Ah, mereka tidak akan
menaruh curiga, batin si lelaki.
Sebelah
kanan yang lumayan dekat, sebuah keluarga terlihat bahagia duduk berlesehan
sembari makan bersama. Tampak gadis kecil yang berada di sana begitu lahap
menyantap makanan yang tersedia. Ah, memang
tidak ada apa-apa.
Sebelah
depan—tepatnya di hadapan, segerombolan angsa tengah berenang di sebuah kolam
besar berbentuk lingkaran, dengan air mancur kecil yang menyimburkan kesyahduan.
Sedemikian jelas, hingga air yang melancut ke atas hingga batas—lantas menghunjam
begitu deras, cipratannya tampak seperti belalang-belalang transparan yang berloncatan
dengan bebas.
“Kau lihat bebek itu?” tanya si lelaki
sambil menunjuk ke arah kolam.
Perempuan itu sedikit mendongakkan
kepalanya. Diikutinya arah telunjuk lelaki itu, ia terdiam. Beberapa jenak, ia
pun menoleh ke arah seseorang yang berada di sebelahnya. “Itu angsa keleus, bukan bebek!”
Si lelaki pun tergelak seketika.
“Lucu, ya!?” sergah perempuan itu
dengan raut datar.
“Cie,
jangan galak-galak begitu dong, Mbak—”
“Jangan panggil ‘Mbak’!” sambar sang
perempuan secepat kilat dengan mata yang menyipit saat mengatakannya.
Si lelaki menghela napas. Ia
menggeleng-gelengkan kepala seakan tiada percaya bahwa perempuan yang sedang
dihadapinya judes luar biasa. “Lalu?”
“Panggil saja aku Vira.”
Lelaki itu mengangguk-anggukan
kepala. Ia pun menjulurkan tangannya. “Oh, aku Wildan.”
Vira yang merasa “menang” karena ada
lelaki yang penasaran kepadanya, menerima jabat tangan itu dengan menyentilkan
telunjuknya saja.
Wildan tertegun. Tampaknya ia
“terkesima” dengan tanggapan sang perempuan. Dalam hati sebenarnya ia geli,
namun jika terkekeh lagi, pastinya perempuan itu akan menjawab dengan wajah karikatural
seperti tadi.
“Lalu, kenapa Vira menangis?”
Tak dinyana, pertanyaan itu dijawab
Vira dengan sebuah cerita. Katanya, ia tengah jengah kepada suaminya yang suka
marah-marah.
“Hah!? Kau sudah bersuami?!” tanya
Wildan tiba-tiba. Ia tampak terkejut musabab memang tiada percaya. Sekaligus,
ada sedikit kekecewaan yang tengah mendarat di hatinya.
Perempuan itu mengangguk. Lalu
melanjutkan ceritanya sambil menunduk.
Awalnya, hubungan Vira dengan
suaminya terjalin begitu nyaman. Seperti ihwalnya suami-istri kebanyakan.
Namun, segalanya berubah tatkala sang suami pindah kerja di luar kota. Hanya
seminggu sekali mereka bertemu, itu pun tidak menentu.
“Kenapa kau tidak ikut saja
bersama suamimu?”
Vira menoleh ke arah Wildan. “Ah, mulai
sotoy, nih.”
“Maksudmu?”
Sekarang Vira mengalihkan
pandangannya ke arah kolam. Kakinya yang menjuntai karena tak sampai menyentuh
“lantai” pun ia ayun-ayunkan. “Aku mencintai kota ini seperti mencintai diriku
sendiri. Banyak kenangan yang telah terjadi selama ini. Termasuk teman, sahabat,
dan keluargaku, semua ada di sini.”
“Lhoh, andaikan kau ikut dengan suamimu,
apakah mereka akan marah?”
“Aku-nya, Wil. Aku yang tak bisa.”
“Kenapa tidak bisa?”
“Ah, lelaki memang tak akan pernah
mengerti.”
Wildan menarik napasnya. “Bagaimana bisa
kau bilang aku tidak mengerti?”
“Ada. Tentu ada, masalah di dalamnya
yang tak bisa kuceritakan padamu.”
Wildan mengangguk-angguk. “Ya, lagipula
itu tidak penting bagiku.”
Tatapan sinis diperoleh Wildan saat Vira
menoleh ke arahnya. “Oke, ini masalahku. Tapi, apa yang kamu lakukan jika ini
terjadi padamu?”
“Tentu aku akan ikut suamiku. Soalnya,
kalau masalah intinya pada pertemuan, semuanya pasti sudah terselesaikan.”
“I
know. Tapi, tak sesederhana itu
juga,” sergah sang
perempuan, “segalanya terasa berat saat aku pergi meninggalkan kota ini. Aku
pun telah mencobanya. Faktanya, meski bersama suamiku, tak sampai tiga minggu
aku sudah ingin pulang.”
“Apakah kau tidak mencintainya?”
Perempuan itu terdiam, menghentikan
gerakan kakinya. “Apa yang kamu tahu tentang cinta, Kisanak?”
Sang lelaki pun menyunggingkan
senyum. “Cinta adalah tentang menerima, Nyai.”
“Boneka ini adalah pemberian
suamiku. Jika aku tak mencintainya, pasti aku sudah membuangnya,” jawabnya
sembari menyeringai, “lagipula, jika cinta memang tentang menerima, berarti
suamiku juga tak mencintai aku. Buktinya, kenapa ia tak mencari pekerjaan di
sini saja. Bukankah di kota ini berjibun lowongan? Dialah yang memperumit
keadaan ini.”
“Kau yang rumit!” sambar Wildan
seketika.
“Kok, jadi aku?”
“Iya, kau sepertinya memang butuh obat untuk
menyembuhkan kerumitan yang
di kepalamu itu.”
“Jadi, menurutmu aku sakit?!”
“Terlalu parah, sih.” jawab Wildan sambil terkekeh.
Vira mengangguk-angguk. Bibirnya
merunjung. “Benar, kan? Lelaki memang tak akan pernah mengerti perasaan
perempuan?!”
“Sebenarnya tidak ada masalah apa
pun. Kau tahu itu.”
“Tentu sangat bermasalah! Kamu saja
yang tak pernah merasakan betapa beratnya meninggalkan kenangan.”
“Kalau begitu, kenapa kau tidak
hidup saja di masa lalu?!”
“Sudah kuduga kamu memang payah,”
sahut Vira sambil tertawa.
Wildan mengangkat lengan kanan,
matanya tertumpu pada arloji yang terpagut di pergelangan. “Sudahlah, ada hal
lain yang mesti kukerjakan. Lagipula aku tahu ini tidak akan usai sebelum kaulunturkan
egomu itu. Ingat, cinta adalah tentang penerimaan!”
Wildan pun berniat meninggalkan sang
perempuan sendirian. Dientakkannya kaki dengan pasti, lantas berdiri, melangkah
bak prajurit Romawi yang gagah berani. Baginya, tidak ada gunanya pembicaraan
itu diteruskan. Apalagi ego telah membakar habis logika sang perempuan. Jika
diteruskan, tentu sanggahannya tidak akan habis sekalipun ditulis dalam puluhan
novel roman. Sampai mati pun masalah tidak akan terselesaikan. Tidak akan pernah
bisa.
Waktu terus berjalan. Sedang Vira tetap
bersikukuh untuk duduk menunggu harapan. Selanjutnya, ia kembali menangis
seperti sedia kala, sembari berharap ada satu lelaki saja yang bisa
memahaminya. Iya, seorang lelaki.
“Kenapa Anda menangis?” tanya seseorang
yang kini sudah ada berada di depan. Mungkin sebuah keberuntungan, wajahnya lebih
tampan dari Wildan.
Vira mengedikkan bahu. Matanya
berkaca-kaca. “Kenapa kamu tak duduk di sampingku saja untuk
membicarakannya!?”