Laman

Rabu, 30 September 2015

Perempuan Pecandu Melankolia


            “Dunia ini begitu kejam,” katanya sambil menyeka air mata.
Sebagaimana layaknya kebanyakan perempuan, ia menganggap menangis bukanlah suatu kelemahan, melainkan simbol dari kekuatan perasaan. Baginya, orang yang lemah tak akan pernah bisa menangis, bahkan sekalipun ditimpa musibah tragis. Orang lemah juga tidak tahu bagaimana cara menitikkan air mata dengan cara yang paling bijaksana, katanya, sebab mereka pandai berpura-pura. Sederhananya, orang lemah ingin kelihatan selalu tegar padahal merah hatinya kian memudar.
“Tuhan pun tak pernah membelaku,” lanjutnya.
            Begitulah yang dilakukan perempuan itu tatkala siang tidak dirasanya terang, mendung menggantung selaras dengan hatinya yang murung, lalu, ia memilih untuk duduk agak terakuk di kursi taman kota sembari memangku sebuah boneka panda lusuh tapi harum baunya. Jika kau melihat lebih dekat, asalkan kau tidak buta, kau akan tahu jika perempuan itu beraut pilu, seolah-seolah hanya ia satu-satunya orang di dunia ini yang memikul sendu. Pula jika kau lebih giat untuk mendekat, asal telingamu masih wajar untuk mendengar, kau akan mendapati suara seperti lebah yang mendengung dari pita suaranya yang bergetar.
            “Kau tidak apa-apa?” tanya seorang lelaki yang kebetulan lewat dan berhenti di depannya.          
            Perempuan itu selalu tahu bagaimana caranya mencari perhatian. Maka, jika sudah ada lelaki yang kelihatan penasaran, apalagi tampan, ia pun mengeraskan volume tangisan. Lelaki itu diam sejenak, menengok ke kiri dan kanan, menggaruk-garuk kepala, kebingungan, antara kasihan atau menganggapnya gila.
            Beruntungnya, perempuan berambut kuncir kuda tersebut berwajah imut-imut. Tiada sesenti saja kulit mukanya mengerut keriput. Pula jika diamati dengan saksama, parasnya begitu manis. Ditambah sempurna dengan tubuh yang dibalut pakaian serba modis. “Oh, bukan orang gila sepertinya,” batin lelaki itu.
            Meski masih diliputi keraguan, lelaki berhidung bangir itu pun memberanikan diri untuk duduk di samping sang perempuan.
            “Kau tidak sedang tersesat, kan?”  
            Perempuan itu menggeleng pelan. Tangisannya kini mulai memelan.
            “Lalu?” tanya si lelaki lagi.
            Beberapa jenak kelengangan melanda. Si lelaki yang sebetulnya cukup khawatir jika saat itu ada orang yang memerhatikan, kemudian menaruh prasangka yang bukan-bukan, sesegera mungkin memastikan sekeliling keadaan.
Dari mata ia memandang, di sebelah kiri yang cukup jauh sebetulnya, sepasang muda-mudi tengah bercanda-tawa di depan sekerumunan mawar nan merah merona. Sesekali salah satu dari mereka mencubit pipi pasangannya dengan gemas, lantas, keduanya saling membalas. Ah, mereka tidak akan menaruh curiga, batin si lelaki.
Sebelah kanan yang lumayan dekat, sebuah keluarga terlihat bahagia duduk berlesehan sembari makan bersama. Tampak gadis kecil yang berada di sana begitu lahap menyantap makanan yang tersedia. Ah, memang tidak ada apa-apa.
Sebelah depan—tepatnya di hadapan, segerombolan angsa tengah berenang di sebuah kolam besar berbentuk lingkaran, dengan air mancur kecil yang menyimburkan kesyahduan. Sedemikian jelas, hingga air yang melancut ke atas hingga batas—lantas menghunjam begitu deras, cipratannya tampak seperti belalang-belalang transparan yang berloncatan dengan bebas.
            “Kau lihat bebek itu?” tanya si lelaki sambil menunjuk ke arah kolam.
            Perempuan itu sedikit mendongakkan kepalanya. Diikutinya arah telunjuk lelaki itu, ia terdiam. Beberapa jenak, ia pun menoleh ke arah seseorang yang berada di sebelahnya. “Itu angsa keleus, bukan bebek!”
            Si lelaki pun tergelak seketika.
            “Lucu, ya!?” sergah perempuan itu dengan raut datar.
            “Cie, jangan galak-galak begitu dong, Mbak—”
            “Jangan panggil ‘Mbak’!” sambar sang perempuan secepat kilat dengan mata yang menyipit saat mengatakannya.
            Si lelaki menghela napas. Ia menggeleng-gelengkan kepala seakan tiada percaya bahwa perempuan yang sedang dihadapinya judes luar biasa. “Lalu?”
            “Panggil saja aku Vira.”
            Lelaki itu mengangguk-anggukan kepala. Ia pun menjulurkan tangannya. “Oh, aku Wildan.”
            Vira yang merasa “menang” karena ada lelaki yang penasaran kepadanya, menerima jabat tangan itu dengan menyentilkan telunjuknya saja.
            Wildan tertegun. Tampaknya ia “terkesima” dengan tanggapan sang perempuan. Dalam hati sebenarnya ia geli, namun jika terkekeh lagi, pastinya perempuan itu akan menjawab dengan wajah karikatural seperti tadi.
            “Lalu, kenapa Vira menangis?”
            Tak dinyana, pertanyaan itu dijawab Vira dengan sebuah cerita. Katanya, ia tengah jengah kepada suaminya yang suka marah-marah.
            “Hah!? Kau sudah bersuami?!” tanya Wildan tiba-tiba. Ia tampak terkejut musabab memang tiada percaya. Sekaligus, ada sedikit kekecewaan yang tengah mendarat di hatinya.
            Perempuan itu mengangguk. Lalu melanjutkan ceritanya sambil menunduk.
            Awalnya, hubungan Vira dengan suaminya terjalin begitu nyaman. Seperti ihwalnya suami-istri kebanyakan. Namun, segalanya berubah tatkala sang suami pindah kerja di luar kota. Hanya seminggu sekali mereka bertemu, itu pun tidak menentu.
            “Kenapa kau tidak ikut saja bersama suamimu?”
            Vira menoleh ke arah Wildan. “Ah, mulai sotoy, nih.”
            “Maksudmu?”
            Sekarang Vira mengalihkan pandangannya ke arah kolam. Kakinya yang menjuntai karena tak sampai menyentuh “lantai” pun ia ayun-ayunkan. “Aku mencintai kota ini seperti mencintai diriku sendiri. Banyak kenangan yang telah terjadi selama ini. Termasuk teman, sahabat, dan keluargaku, semua ada di sini.”
            “Lhoh, andaikan kau ikut dengan suamimu, apakah mereka akan marah?”
            “Aku-nya, Wil. Aku yang tak bisa.”
            “Kenapa tidak bisa?”
            “Ah, lelaki memang tak akan pernah mengerti.”
            Wildan menarik napasnya. “Bagaimana bisa kau bilang aku tidak mengerti?”
            “Ada. Tentu ada, masalah di dalamnya yang tak bisa kuceritakan padamu.”
            Wildan mengangguk-angguk. “Ya, lagipula itu tidak penting bagiku.”
             Tatapan sinis diperoleh Wildan saat Vira menoleh ke arahnya. “Oke, ini masalahku. Tapi, apa yang kamu lakukan jika ini terjadi padamu?”
            “Tentu aku akan ikut suamiku. Soalnya, kalau masalah intinya pada pertemuan, semuanya pasti sudah terselesaikan.”
            “I know. Tapi, tak sesederhana itu juga,” sergah sang perempuan, “segalanya terasa berat saat aku pergi meninggalkan kota ini. Aku pun telah mencobanya. Faktanya, meski bersama suamiku, tak sampai tiga minggu aku sudah ingin pulang.”
            “Apakah kau tidak mencintainya?”
            Perempuan itu terdiam, menghentikan gerakan kakinya. “Apa yang kamu tahu tentang cinta, Kisanak?”
            Sang lelaki pun menyunggingkan senyum. “Cinta adalah tentang menerima, Nyai.”
            “Boneka ini adalah pemberian suamiku. Jika aku tak mencintainya, pasti aku sudah membuangnya,” jawabnya sembari menyeringai, “lagipula, jika cinta memang tentang menerima, berarti suamiku juga tak mencintai aku. Buktinya, kenapa ia tak mencari pekerjaan di sini saja. Bukankah di kota ini berjibun lowongan? Dialah yang memperumit keadaan ini.”
            “Kau yang rumit!” sambar Wildan seketika.
            “Kok, jadi aku?”
            “Iya, kau sepertinya memang butuh obat untuk menyembuhkan kerumitan yang di kepalamu itu.”
            “Jadi, menurutmu aku sakit?!
            “Terlalu parah, sih.” jawab Wildan sambil terkekeh.
            Vira mengangguk-angguk. Bibirnya merunjung. “Benar, kan? Lelaki memang tak akan pernah mengerti perasaan perempuan?!”
            “Sebenarnya tidak ada masalah apa pun. Kau tahu itu.”
            “Tentu sangat bermasalah! Kamu saja yang tak pernah merasakan betapa beratnya meninggalkan kenangan.”
            “Kalau begitu, kenapa kau tidak hidup saja di masa lalu?!”
            “Sudah kuduga kamu memang payah,” sahut Vira sambil tertawa.
            Wildan mengangkat lengan kanan, matanya tertumpu pada arloji yang terpagut di pergelangan. “Sudahlah, ada hal lain yang mesti kukerjakan. Lagipula aku tahu ini tidak akan usai sebelum kaulunturkan egomu itu. Ingat, cinta adalah tentang penerimaan!”
            Wildan pun berniat meninggalkan sang perempuan sendirian. Dientakkannya kaki dengan pasti, lantas berdiri, melangkah bak prajurit Romawi yang gagah berani. Baginya, tidak ada gunanya pembicaraan itu diteruskan. Apalagi ego telah membakar habis logika sang perempuan. Jika diteruskan, tentu sanggahannya tidak akan habis sekalipun ditulis dalam puluhan novel roman. Sampai mati pun masalah tidak akan terselesaikan. Tidak akan pernah bisa.  
            Waktu terus berjalan. Sedang Vira tetap bersikukuh untuk duduk menunggu harapan. Selanjutnya, ia kembali menangis seperti sedia kala, sembari berharap ada satu lelaki saja yang bisa memahaminya. Iya, seorang lelaki.
            “Kenapa Anda menangis?” tanya seseorang yang kini sudah ada berada di depan. Mungkin sebuah keberuntungan, wajahnya lebih tampan dari Wildan.
            Vira mengedikkan bahu. Matanya berkaca-kaca. “Kenapa kamu tak duduk di sampingku saja untuk membicarakannya!?”  

Rabu, 23 September 2015

Elang dari Joplin



 
Pikiranku merekamnya
Selepas langit barat daya Missouri menggelap
Alicia mendekapku lekat-lekat
“Aku takut,” katanya
Lalu kuyakini diri ini berani

Rumah-rumah tiba-tiba terbang
Pepohonan tercerabut melayang
Orang-orang tunggang langgang
Alicia menjerit, “Aku tak mau mati, Nick.”
Orang-orang pula memekik, “Ampuni aku, Tuhan!”

Angin mengaum seperti haus memangsa
Berputar, menggulung-gulung, bergemuruh, bergetar, menjelanak hingga dasar
Lutut terasa lemas begitu saja
Ingin lunglai bersimpuh, tapi Alicia merintih
Dan itu cukup membuatku tetap berdiri meski tertatih

Kukira hidup ini hanya seperti alegori sempurna
Tapi ternyata, ironi melancut pula di dalamnya
Aku tak takut kematian, pikirku kala itu
Tapi kini aku memahami dalam sanubari
Ketakutan sebenarnya adalah kenyataan berpisah dengan Alicia

Kini aku telah menjadi elang
Namun hanya serupa bayang-bayang
Pula mata tak tajam, walau mengernyit, kendati menyipit
Untuk melacak ruam kenangan dari ketinggian
Dan berharap menemukannya dalam kehidupan

Detik-detik itu begitu jelas
Saat ia terlepas dari rengkuhanku
Alicia memejam, lantas terempas ke daratan
Sedang aku jauh mengangkasa
Menjadi elang yang terbang setinggi-tingginya

Terinspirasi dari: Tragedi Tornado Joplin Missouri 2011