Saya bukanlah orang yang up to date, hanya saja saya suka mengikuti perkembangan jaman. *Lhoh?* Maka dari itu, saya sering dengan tidak sengaja tahu bahasa-bahasa yang lagi laris di peredaran, misalnya Baper.
Tentu "Baper" di sini bukanlah semacam kata dalam bahasa Inggris (diberi imbuhan -er), namun akronim belaka. Pun yang saya maksud "Baper" di sini bukanlah Bahan Pertanyaan, Batik Perusahaan, Bakar Perumahan ataupun Banci Perempatan. Yang saya maksudkan adalah Bawa Perasaan.
Jujur, saya bukanlah orang yang benar-benar mengerti dalam urusan menyelami hati perempuan. Saya bahkan tak punya pasangan untuk dijadikan bahan percobaan, koreksi: bahan renungan. Namun, saya tak benar-benar seratus persen buta. Dulu, saya pernah punya pacar, kok (tak apa kalau nggak nanya). Oleh karenanya, sedikit-banyak tentu saya telah mempunyai sebuah persepsi. Meski bukanlah perkara bijak menentukan hati perempuan dengan hanya menggeneralisasikan beberapa sampel (baca: pengalaman yang pernah saya alami).
Saya pernah membaca sebuah artikel—maaf saya lupa judulnya—yang mengatakan bahwa perempuan lebih dominan memakai perasaan daripada logikanya. Entah kenapa saya memercayainya. Tapi, bukan dengan sebegitu mudahnya kemudian saya jadikan prinsip, tidak. Pun yang demikian bukan berarti perempuan tak pernah memakai logika, kok. Ini hanyalah masalah dominasi, tentang sikap perempuan dalam menanggapi sebuah perkara.
Dari sini saya mulai berpikir sambil bercermin, meyakinkan kepada diri saya sendiri bahwa pantulan dalam cermin di depan saya memanglah sosok seorang pria yang ganteng. Oleh karenanya, bukanlah kedustaan jika pernyataan yang saya tulis setelah ini benar-benar berasal dari sudut pandang seorang pria ganteng: Kenapa perempuan tak bisa tegas!? Kenapa kalau ada masalah, tidak langsung jujur saja. Kenapa seringkali masalah yang sepele kemudian suka dibesar-besarkan!? Dan kenapa pula kita—pria—harus selalu menerka-nerka. *ngilang cling*
Saya selalu percaya bahwa tak ada sesuatupun di dunia ini yang cocok, kitalah yang mencocokkan diri. Misal saja saya membeli sepatu, kanan dan kiri memiliki warna yang sama. Saya beranggapan bahwa mereka—sepatu—cocok. Namun, belum tentu dengan seorang yang katakanlah memiliki jiwa seni tinggi, yang selalu mempunyai proyeksi yang berbeda tentang kehidupan. Belum tentu mereka menyukai sepatu yang kanan-kiri memiliki warna sama. Pun lebih ekstremnya malah mereka menyukai bentuk yang kanan-kiri berbeda. Nah, ini cuma masalah sepatu. Bagaimana dalam konteks manusia yang konon memiliki hati yang kompleks. Bayangkan, bagaimana hati yang satu bisa mengatasi masalah yang banyak, pun bagaimana hati yang kecil sanggup mengatasi masalah yang besar?
Kembali lagi pada judul yang saya coba angkat: Sindrom Baper. Bagi saya, baper lebih saya kategorikan ke penyakit. Makanya, saya beri saja awalan sindrom. Jadi, mereka yang mengidap baper sebenarnya hanyalah butuh obat, yaitu kedewasaan, Dengan menjadi pribadi yang dewasa, mereka akan tahu betapa ajaibnya saling pengertian dan memahami satu sama lain. Hanya kabar buruknya, dewasa itu seperti bayi yang beranjak berjalan. Ia hanya cuma bisa belajar dan berlatih saja. Karena ia akan berjalan pada saat memang sudah waktunya ia berjalan.
Tentu, seorang yang saya sebut saja pengidap, boleh jadi tahu, boleh jadi tidak tahu, tentang penyakit yang dideritanya. Oleh karena itu, inilah yang mau tidak mau menuntut seorang pria untuk lebih bersabar. Saya selalu menilai bahwa pertengkaran itu romantis. Hanya saja tidak selamanya. Jika terlalu sering pun tak akan baik. Ya, kita juga sama-sama tahu pastinya bahwa sesuatu yang diawali dengan kata terlalu, jelas tidak baik. Misalnya: terlalu baper itu tidak baik.
Adapun tak selamanya baper itu adalah sifat yang negatif, meski kata-katanya semacam tidak enak didengar. Baper boleh jadi akan menuntun seseorang menuju kepada kehidupan semacam telenovela, atau drama yang serinya tidak habis-habis. Nah, tentu ini akan menarik jika seorang yang baper adalah seorang penulis, bukan?
Satu lagi, pengidap baper adalah calon ibu yang baik. Mereka benar-benar menjunjung tinggi perasaan. Tentu dalam konteks ini saya lebih mengartikan bahwa pengidap baper mempunyai kasih sayang yang teramat besar. Jadi, berbanggalah kalian yang memiliki pasangan baper. Dan bagi kalian pengidapnya, jangan berbangga hati juga keleus karena baper dalam masa penjajakan akan membuat pasangan menjadi jenuh.
Lewat tulisan ini saya jadi menyadari bahwa Tuhan sangat-sangatlah adil. Anggap jika pria memiliki 9 logika dan 1 perasaan, maka perempuan kebalikannya. Jika perempuan adalah pengingat, ironisnya pria itu pelupa. Jika pria itu cuek, maka perempuan adalah sosok yang perhatian. Nah, tak usah menganggap semua ini berbeda, karena justru itu adalah poin utamanya, saling melengkapi. Maka dari itu yang pria, mengertilah perempuan, dan perempuan, pahamilah pria.
"Perempuan itu misterius. Itulah sebabnya kenapa cover TTS kebanyakan perempuan. Karena mereka penuh teka-teki!"