Laman

Jumat, 08 Mei 2015

Sindrom Baper

 
Saya bukanlah orang yang up to date, hanya saja saya suka mengikuti perkembangan jaman. *Lhoh?* Maka dari itu, saya sering dengan tidak sengaja tahu bahasa-bahasa yang lagi laris di peredaran, misalnya Baper.
Tentu "Baper" di sini bukanlah semacam kata dalam bahasa Inggris (diberi imbuhan -er), namun akronim belaka. Pun yang saya maksud "Baper" di sini bukanlah Bahan Pertanyaan, Batik Perusahaan, Bakar Perumahan ataupun Banci Perempatan. Yang saya maksudkan adalah Bawa Perasaan.
 
Jujur, saya bukanlah orang yang benar-benar mengerti dalam urusan menyelami hati perempuan. Saya bahkan tak punya pasangan untuk dijadikan bahan percobaan, koreksi: bahan renungan. Namun, saya tak benar-benar seratus persen buta. Dulu, saya pernah punya pacar, kok (tak apa kalau nggak nanya). Oleh karenanya, sedikit-banyak tentu saya telah mempunyai sebuah persepsi. Meski bukanlah perkara bijak menentukan hati perempuan dengan hanya menggeneralisasikan beberapa sampel (baca: pengalaman yang pernah saya alami).

Saya pernah membaca sebuah artikel—maaf saya lupa judulnya—yang mengatakan bahwa perempuan lebih dominan memakai perasaan daripada logikanya. Entah kenapa saya memercayainya. Tapi, bukan dengan sebegitu mudahnya kemudian saya jadikan prinsip, tidak. Pun yang demikian bukan berarti perempuan tak pernah memakai logika, kok. Ini hanyalah masalah dominasi, tentang sikap perempuan dalam menanggapi sebuah perkara.

Dari sini saya mulai berpikir sambil bercermin, meyakinkan kepada diri saya sendiri bahwa pantulan dalam cermin di depan saya memanglah sosok seorang pria yang ganteng. Oleh karenanya, bukanlah kedustaan jika pernyataan yang saya tulis setelah ini benar-benar berasal dari sudut pandang seorang pria ganteng: Kenapa perempuan tak bisa tegas!? Kenapa kalau ada masalah, tidak langsung jujur saja. Kenapa seringkali masalah yang sepele kemudian suka dibesar-besarkan!? Dan kenapa pula kita—priaharus selalu menerka-nerka. *ngilang cling*

Saya selalu percaya bahwa tak ada sesuatupun di dunia ini yang cocok, kitalah yang mencocokkan diri. Misal saja saya membeli sepatu, kanan dan kiri memiliki warna yang sama. Saya beranggapan bahwa mereka—sepatu—cocok. Namun, belum tentu dengan seorang yang katakanlah memiliki jiwa seni tinggi, yang selalu mempunyai proyeksi yang berbeda tentang kehidupan. Belum tentu mereka menyukai sepatu yang kanan-kiri memiliki warna sama. Pun lebih ekstremnya malah mereka menyukai bentuk yang kanan-kiri berbeda. Nah, ini cuma masalah sepatu. Bagaimana dalam konteks manusia yang konon memiliki hati yang kompleks. Bayangkan, bagaimana hati yang satu bisa mengatasi masalah yang banyak, pun bagaimana hati yang kecil sanggup mengatasi masalah yang besar?

Kembali lagi pada judul yang saya coba angkat: Sindrom Baper. Bagi saya, baper lebih saya kategorikan ke penyakit. Makanya, saya beri saja awalan sindrom. Jadi, mereka yang mengidap baper  sebenarnya hanyalah butuh obat, yaitu kedewasaan, Dengan menjadi pribadi yang dewasa, mereka akan tahu betapa ajaibnya saling pengertian dan memahami satu sama lain. Hanya kabar buruknya, dewasa itu seperti bayi yang beranjak berjalan. Ia hanya cuma bisa belajar dan berlatih saja. Karena ia akan berjalan pada saat memang sudah waktunya ia berjalan. 

Tentu, seorang yang saya sebut saja pengidap, boleh jadi tahu, boleh jadi tidak tahu, tentang penyakit yang dideritanya. Oleh karena itu, inilah yang mau tidak mau menuntut seorang pria untuk lebih bersabar. Saya selalu menilai bahwa pertengkaran itu romantis. Hanya saja tidak selamanya. Jika terlalu sering pun tak akan baik. Ya, kita juga sama-sama tahu pastinya bahwa sesuatu yang diawali dengan kata terlalu, jelas tidak baik. Misalnya: terlalu baper itu tidak baik.

Adapun tak selamanya baper itu adalah sifat yang negatif, meski kata-katanya semacam tidak enak didengar. Baper boleh jadi akan menuntun seseorang menuju kepada kehidupan semacam telenovela, atau drama yang serinya tidak habis-habis. Nah, tentu ini akan menarik jika seorang yang baper adalah seorang penulis, bukan?

Satu lagi, pengidap baper adalah calon ibu yang baik. Mereka benar-benar menjunjung tinggi perasaan. Tentu dalam konteks ini saya lebih mengartikan bahwa pengidap baper mempunyai kasih sayang yang teramat besar. Jadi, berbanggalah kalian yang memiliki pasangan baper. Dan bagi kalian pengidapnya, jangan berbangga hati juga keleus karena baper dalam masa penjajakan akan membuat pasangan menjadi jenuh. 

Lewat tulisan ini saya jadi menyadari bahwa Tuhan sangat-sangatlah adil. Anggap jika pria memiliki 9 logika dan 1 perasaan, maka perempuan kebalikannya. Jika perempuan adalah pengingat, ironisnya pria itu pelupa. Jika pria itu cuek, maka perempuan adalah sosok yang perhatian. Nah, tak usah menganggap semua ini berbeda, karena justru itu adalah poin utamanya, saling melengkapi. Maka dari itu yang pria, mengertilah perempuan, dan perempuan, pahamilah pria.

"Perempuan itu misterius. Itulah sebabnya kenapa cover TTS kebanyakan perempuan. Karena mereka penuh teka-teki!"
 


Selasa, 05 Mei 2015

Yang Tak Terucap (#KampusFiksi Emas 2015)

Tulisan ini saya buat tepat tiga hari setelah Hari-H ultah Kampus Fiksi. Karena waktu itu belum jadi, makanya baru saya publish sekarang, setelah jadi. So, bayangkan saja hari ini adalah tepat tiga hari setelah Ulang Tahun Kampus Fiksi yang ke-2 terselenggara.

Keluarga Besar Kampus Fiksi


Kalau boleh jujur, sudah tiga hari ini saya belum mandi. Kenapa? Karena saya nggak mau kehilangan bau ultah Kampus Fiksi yang masih melekat di badan saya. *Jeng jeng*
Dalam konteks itu, tentu dapat disimpulkan pula bahwa selama tiga hari tersebut, saya belum ganti baju sama sekali. *Jeng jeng jeng*

Saya adalah alumni Kampus Fiksi 12 yang kira-kira masih sebulan lalu diadakan, istilahnya yang paling junior. Oleh sebab itu, mau bagaimana juga saya mesti SKSD sama yang lain. Dianggep sok kenal tak masalah, dianggep sok deket, ya, emang. Saya hanya nggak mau, setiap teman-teman yang lain ngerumpi, saya hanya bisa diem, melompong, mulut menganga, membuka seperti anus burung onta yang sedang putus asmara. *Jedeeerrr...*

Nih dia penampakan peserta-peserta Kampus Fiksi 12


Sempat nyesel juga nggak bisa sampai Jogja pada Sabtu sore. Kenapa? Karena saya nggak bisa ikut karaokean bareng Mas Sayfullan, Mas Reza, Mbak Ve, Mbak Rara, Mbak Tiwi, Mbak Mufi, Mbak Fea, Mbak Farrah dll.


Ya, walau saya juga nggak yakin akan diajak meski sudah sampai sana. behahaha.

Dan setelah saya pikir-pikir, semua itu nggak masalah sebenarnya, ada yang lebih wajib: saya mesti berangkat bareng Trice dan Douglas ke Jogja dengan selamat. Karena tetap kesehatan yang nomor satu *lirik Pak Edi*. Hmm, meski pada akhirnya kami berangkat dari Semarang jam setengah sebelas malam, dan sampai di asrama jam dua dini hari.


Nggak nyesel datang!


Udah.


Eh, belum ding.

Ada beberapa hal yang masih ingin saya sampaikan:
  • Pertama, menanggapi si Lampu Pijar, koreksi: si Pijar Hati
Saya termasuk salah seorang yang salut sama si Pijar. Bagi saya, beliau adalah sosok yang apa adanya, sangat menghargai orang lain, selalu bersemangat, antusias, dan perhatian. Pokoknya Abang-able banget. Beberapa tulisan di blognya, saya baca. Dan salah satunya, berhasil membuat saya menitikkan air mata. Rasanya hati ini ikut nggak terima pada kenyataan. Tapi apa daya, Allah adalah sebenar-benarnya yang paling benar, seadil-adilnya yang paling adil, saya yakin si Pijar lebih mengerti dari saya. Yakin! Nggak pernah nyesel kenal ama orang macam beliau.

Jadi, kapan kita main "pisang-pisangan" lagi, Jar? *Tratakdungcesss*

  • Kedua, menanggapi si Bocah Kampung
Mungkin nggak banyak yang ngerti sama beliau, termasuk saya. Tapi, saya tetap akan selalu bersikap seperti ini, seadanya saja. Karena saya yakin, apa yang dia perbuat adalah semata-mata apa yang benar-benar diperhitungkannya. Meski saya yakin beliau ngitungnya nggak pakai rumus-rumus matematika juga, apalagi rumus Pythagoras. Beliau juga termasuk salah seorang yang sanggup membikin gue terkagum-kagum lewat goresan penanya, koreksi: tekanan jarinya (keyboard komputer). Jenius! Mungkin lebih tepatnya gila. Beliau adalah sedikit dari orang di dunia ini yang gila tapi nggak masuk RSJ.

Jadi, kapan berani main catur lawan saya? *masalah pribadi*

***

Mungkin, sebagian orang mengalami: pernah ada suatu masa, beberapa hal di dalamnya tak pernah bisa terucapkan secara lisan, namun ingin diceritakan. Dan ironisnya, itu yang sedang saya alami. Lebih memilih untuk tidak bersuara namun sungguh dalam hati ini ingin sekali mengungkapkan. Maka, dengan sangat sengaja, tulisanyang nggak jelas—ini saya buat.

Mungkin memang sudah menjadi semacam kewajaran jika manusia datang kemudian pergi, bertemu kemudian berpisah, menerima dan akhirnya melepaskan. Pun hakekat dunia tercipta juga memang tempat persinggahan, bukan? Manusia hidup di dunia hanya seperti mampir minum belaka. Di dunia saja singgah, apalagi di hati orang!? Pasti sebentar sekali. Namun, tetap saja, ada sebuah alasan yang boleh jadi digunakan untuk perkecualian—perpisahan—itu sendiri, yakni: keluarga. 
 
Bagi saya, keluarga adalah keluarga itu sendiri. Dari situlah kita belajar mengerti dari kesalahpahaman, saling memahami dari ketidaksamaan, berlatih kompak dari ketidakterbiasaan, tertawa gembira dari duka yang dilalui bersama, dan belajar bahagia dari keberhasilan saling menopang dan menggenggam erat. Pun keluarga adalah tempat kita mencurahkan rasa, asa, dan cita-cita, bukan? Bersama keluarga, kita merajut kenangan.

Adapun harapan kecil saya, rasa kekeluargaan yang kemarin saya rasakan bahkan sampai detik ini, semata-mata bukan hanya euforia belaka. Tapi juga untuk seterusnya. Karena bagi saya, keluarga adalah alasan yang benar-benar tepat untuk tinggal dan menetap lebih lama. Saya tak akan muluk-muluk berbicara masalah keabadian, selamanya, ataupun ever after. Setidaknya ikatan ini tetap ada, bahkan tak terkurangi sedikit pun, itu adalah hal yang teramat luar biasa.

Salam manis dari saya : Wawan Esideika, yang berbahagia karena bisa menjadi bagian dari Keluarga Besar Kampus Fiksi.

***

NB: Setelah tulisan ini dibuat, akhirnya saya rela untuk mandi. Walau setelah mandi, saya masih tetap belum ganti baju....


Wabilkhusus buat Pak Edi, saya haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya


Oh iya, sedikit saja, semacam twist di ending. Taraaa...!