Melalui tatapannya yang dalam, Rosyad pernah bilang
bahwa aku adalah bintang di hatinya. Lalu, ia akan sangat senang jika aku
mengijinkannya menjadi rembulan. Karena katanya, ia tak akan pernah lagi
kesepian jika ditemani bintang seperti diriku.
Selalu, beberapa detik selepas mata ini bertumbukan dengan
purnama di malam yang cerah, saat senyuman Rosyad terpahat dalam guratan rembulan,
bayang-bayang Eden muncul sebagai kegelapan.
“Tak usah percaya! Itu hanya bualan Rosyad,” tukas Eden
sambil menyeringai, “Kau boleh saja menjadi apa pun yang kau mau, tapi aku
tidak terima jika kau disamakan dengan bintang. Ah, pikirkan baik-baik andai
kau memang suka menjadi bintang. Lihatlah sekujur langit, buka matamu
lebar-lebar, maka kau akan menemukan jutaan bintang di atas sana. Meski cahaya
sebuah bintang akan berhenti bersinar suatu saat, bukan berarti bulan akan kesepian.
Karena apa? Sebab masih ada jutaan bintang lain yang tersisa. Bahkan, bisa saja
bulan lebih menyukai bintang yang lebih benderang jika suatu saat kau meredup.”
***
Di
pinggir sungai samping rumah tempat aku biasa bertegur sapa dengan kenangan,
Arlina menggamit lenganku. Aku yang sedang terduduk, sontak menoleh,
mendongakkan kepala. Hai, katanya.
Perempuan berambut lurus panjang itu pun beringsut duduk di sebelahku. Ia
memandangiku dengan binar matanya yang cemerlang. Bibir tipisnya sedikit
melebar, meski terkatup rapat terlipat ke arah dalam. Cuping hidungnya tampak
menegang. Aku tahu ia sedang menahan tawa.
“Tebak,
apa yang ingin aku ceritakan?”
Aku mencoba memasang wajah sinis. “Tak usah
bertele-tele. Katakan saja.”
Sontak,
jidat Arlina mengernyit, matanya menyipit. Sejujurnya, aku menyukai ekspresinya
saat ia sedang seperti itu; raut muka yang sebal, sementara aku suka menjadi
sosok yang menyebalkan. Satu lagi, yang kusenangi darinya adalah, beberapa
detik lagi, lihat saja, rasa sebalnya akan sirna.
“Rosyad
bilang kalau dia menyukaiku,” lanjutnya sembari tersenyum (Nah!).
Berkebalikan
dengan Arlina yang tampak bahagia, kata-kata itu justru membuat jantungku
sejenak berhenti berdetak. Selanjutnya bergejolak. Aku tak tahu kenapa ia lebih
menyukai penyair itu daripada diriku. Kendati memang kalah puitis, sebetulnya
aku pun tidak kalah romantis.
“Lalu?”
“Iya,
dia juga bilang kalau aku seperti bintang selepas petang. Indaaah… sekali. Romantis,
kan?”
Cih!? Sungguh aku tak tahu jalan pikiran perempuan. Hanya dengan bualan yang
siapa pun bisa mengatakannya, hatinya meleleh. Menjadi bintang selepas petang saja
sudah senang, bagaimana jika sedang siang!?
“Kenapa kau diam saja, Eden?” tanya Arlina memasang wajah cemberut, “Kau
tidak memerhatikan ucapanku, ya?”
Aku
terdiam beberapa saat, tetap dengan tatapan yang mengarah ke wajah manisnya.
Lantas, kukatakan kepadanya bahwa bulan tak pernah setia. Bintang ada di
mana-mana, semuanya berpijar, semuanya juga tampak indah.
“Terus,
kalau kau jadi Rosyad, kau mau jadi apa untukku?”
“Jangan
samakan aku dengan dia!”
Arlina
menghela napas selepas ia mendengar jawaban yang terlontar dari mulutku yang
lepas. “Baiklah. Jika kau menjadi Eden, kau mau menjadi apa untuk Arlina?”
Kututup
mata ini, ingin sekali perkataanku beberapa detik lagi memang berasal dari
hati. Kuberitahukan kepadanya bahwa aku lebih memilih untuk menjadi hujan
daripada bulan. Meski aku tahu betul, tak pelak lagi keduanya memiliki kesamaan
analogi. Hujan terkait dengan tumbuhan yang sebetulnya juga berjuta-juta jenisnya.
Tumbuhan ada di mana-mana, yang otomatis hujan tak pernah bisa memilih ke mana
ia akan turun ke bumi, kepada siapa ia akan menyirami. Tapi aku tetap diam,
semoga dia tak tahu maksudku; jika hujan datang, maka bulan akan melindap
terdekap gelap.
“Lalu,
jika kau menjadi hujan. Aku menjadi apa?”
“Middlemist
merah,” sambarku cepat.
Arlina
mengerutkan dahinya. “Hah!? Apa itu?”
“Hmmm,
itu bunga langka, yang sebetulnya
sekarang telah punah. Makanya, jika kau adalah Middlemist Merah, tentu kau
satu-satunya di dunia ini. Dan akulah yang akan menyiramimu, agar kau tetap
indah, supaya kau tidak layu.”
Arlina
mengangguk-anggukan kepala, bibirnya merunjung seperti paruh burung. Aku senang
jika dia mulai mengerti, meski dalam hati, diri ini berpikir dia beloon sekali.
Takah-takahnya aku setuju dengan pepatah: perempuan kian lugu kian ayu. Maka,
memang sekarang ia terlihat menggemaskan dan lucu. Ironisnya, boleh jadi aku
saja yang terlalu dini bersenang hati, karena setelah matanya menyeruak
jantungku yang beriak, iris matanya tampak bergerak-gerak. “Ah, kau benar Eden.
Baiklah, aku akan segera menanyakannya kepada Rosyad. Aku bintang apa baginya,”
pungkas Arlina seraya beranjak meninggalkanku.
***
Sebentar
lagi surya tenggelam berganti malam nan kelam. Di saat itu pulalah, ketakutan
selalu mengikis nyali saya. Tatkala kegelapan tersulam dengan sendirinya, mata
saya bisa saja membelalak akibat bayang-bayang kenangan yang bersisa nestapa.
Saya memang selalu gamang dengan malam yang membuat mamang. Segalanya bermuasal
dari kejadian dua puluh tahun silam, pada sebuah tengah malam yang sunyi.
Kebetulan, ketika itu saya yang masih SD tak kunjung
jua memejamkan mata. Tiba-tiba, terdengar suara gesekan kaki teruar jelas
hingga masuk ke telinga ini. Mulanya, saya hanya diam dan menganggapnya ayah
atau ibu saya—tentu karena saya sudah berani tidur tanpa ditemani sehingga saya
sudah memiliki kamar sendiri. Tapi, setelah ada barang yang terjatuh, hati saya
sontak merapuh. Tak biasanya orang rumah beraktivitas pada jam-jam seperti itu—atau
memang saya saja yang tak pernah tahu. Nyatanya, rasa penasaran di benak saya
bersikukuh untuk melihat segalanya dengan utuh. Saya bangkit, lalu membungkuk,
mendekati pintu dengan menyuruk-nyuruk.
Betapa terkejutnya saya melihat seseorang serupa
bayang-bayang mengendap-ngendap di ruang tamu. Saya melihatnya dari sela-sela
pintu yang baru saja saya buka. Nahasnya, sinar lampu kamar saya yang menjelanak
melewati celah pintu, menumbuk dan membentuk garis cahaya vertikal pada tubuh
manusia bayangan itu. Sekilas, matanya tampak melotot menyorot ke arah saya.
Sungguh saya menjadi ketakutan karenanya. Pintu saya banting, lantas saya
memekik keras-keras.
Saya tidak ingin menceritakannya lebih detail lagi,
karena segalanya membuat rongga-rongga ini terpanggang dendam; kebencian yang
tak akan tuntas sebelum saya menuntut balas. Yang jelas setelahnya, Ayah dan
Ibu dibunuh oleh lelaki pencuri, yang tidak lain adalah paman saya sendiri.
Saya tidak tahu ini keberuntungan atau kesialan, nyawa saya terselamatkan oleh
beberapa warga yang mendatangi rumah saya. Paman dibekuk, dan sekarang ia
berada dalam penjara.
Sejak saat itu saya hidup dengan Nenek di desa.
Katanya, rumah orangtua yang berada di kota, dijual untuk membiayai hidup saya
selanjutnya. Syahdan, semuanya menjadi permulaan yang mengantarkan saya kepada
Eden dan Arlina. Kami berkenalan, kemudian menjadi sahabat yang—semoga saja saling—tak
tergantikan.
***
Rosyad
pernah bercerita kepadaku tentang alasan ia tak menyukai malam, tak menyukai
kegelapan. Aku memakluminya, sebab kupikir memang tak akan mudah untuk menjalani
hidup sepertinya. Maka, saat ia mengatakan bahwa dirinya ingin menjadi
rembulan, hatiku bahagia luar biasa. Hanya saja, kini kebahagiaan itu telah
sirna lewat secarik kertas yang ditinggalkannya. Karenanya, hingga detik ini
aku tahu benar bahwa, ia tak akan pernah menemui aku dan Eden lagi.
Teruntuk Arlina bintang hati saya. Mungkin, sudah
sepantasnya saya tiba-tiba datang dan kemudian pergi. Lewat surat ini, saya
hanya ingin meminta maaf jika betapa pernah tebersit rasa cinta di hati ini. Entah
saya yang terbutakan cinta, atau justru kamu yang menguatkan saya. Sungguh saya
tak pernah berdusta jika saya benar-benar membenci malam. Tapi setelah saya
bertemu denganmu, berutas-utas rindu akan teruntai selalu, semuanya seperti
titian dukungan yang tiada habisnya. Terima kasih, Arlina.
Jujur, saya
tak mengerti tentang hukum di negeri ini. Hukum seperti memandang kasta, bukan
dari penegakan sejati. Entah bagaimana caranya, paman saya yang katanya divonis
seumur hidup, beberapa hari lagi akan keluar dari penjara. Kabarnya memang, ia
ditolong temannya yang konglomerat. Dan betapa saya menjadi lebih bingung, apa
motif sebenarnya paman saya kala itu menyulap dirinya menjadi pencuri!? Karena bagi saya mengeluh dan tetap diam bukanlah hal yang masuk akal, maka, mungkin
memang inilah jalan bagi saya untuk menuntut balas. Maafkan saya, Arlina.
Dan
teruntuk Eden bintang hati saya yang lain. Kamu juga tak kalah hebatnya dengan
Arlina. Kamulah teman lelaki terhebat yang pernah saya punyai. Betapa saya tak akan melupakan
saat kamu mengerjai saya dengan menutup mata ini dengan kedua telapak tanganmu, betapa
saya teringat pula kamu mengajak saya untuk bermain petak umpet di malam hari. Saya
tahu kamu menyukai Arlina. Pula, lewat surat ini saya mohon dengan sangat,
jangan pernah menyakiti hatinya. Maafkan saya Eden, sebab saya pernah mencintai Arlina. Dari
sahabat kalian: Rosyad.
Kupandangi wajah Eden yang ikut pula
membaca surat dari Rosyad. Matanya berkaca-kaca, mungkin juga sama dengan
kondisi mataku saat ini. Aku mendongakkan kepala ke arah langit; tak ada
bulan di sana karena tertutup mendung yang pekat. Eden lalu memelukku... lama sekali.
Rintik-rintik
gerimis mulai menempias wajah setiap kami. Namun kami tetap berdiri saling
mendekap, terpaku di tepi sungai samping rumah Eden. Kupikir benar-benar, sepertinya aku memang
telah siap untuk menjadi Middlemist Merah. Dan atas nama kidung hujan di malam ini,
aku percaya bahwa Eden benar-benar mencintaiku dengan setulus hati. Meski, pada sisi yang lain hati ini juga meyakini, kendatipun bulan
tak tampak dari sini, ia akan tetap bercahaya di belahan dunia lain yang tak
pernah kumengerti.