Laman

Rabu, 23 Desember 2015

bunyi yang bertalu-talu di kepalaku

hampir tiap malam bunyi-bunyian itu menderu di kepalaku. sebelum tidur, lalu membuatku terjaga. aku tak tahu itu apa, jelasnya ia terdengar begitu nyata.

kau tahu, bunyi-bunyian itu merebak bak lonceng kematian. berkelindan, memenuhi otak dan sekujur badan. kian waktu pun kian menyedihkan. ia terasa bagai alunan rekuiem yang kesedihannya tak bisa lagi terutarakan. selalu, ia menyulut kerinduan yang sedari dulu aku simpan; rindu pada setiap ikrar yang mengembus bersamaan napas yang selalu aku bangga-banggakan. 

suatu kali aku pernah memerhatikannya dalam diam. ia bertalu-talu tiada henti seolah ingin menyadarkanku bahwa kehidupan ini akan segera mati. ini bukan tentang nyawa, kurasa, justru segalanya tentang rasa. hidup tak punya rasa barangkali seperti orang yang tak punya kehidupan. setamsil, orang miskin akan tetap hidup biasa saja kalau ia tak merasakan kemiskinannya, atau sebaliknya, orang miskin suatu ketika bisa mengatakan dunia ini teramat kejam sebab ia merasakannya. begitu lebih kurangnya, dan kau tentu boleh untuk tak percaya.

kemarin, aku mencoba mendengarkannya dengan lebih saksama. nyatanya, bunyi-bunyian itu malah melamban. aku tak mengerti. kebingungan. aku diam, mencoba tenang dan berkonsentrasi. benar saja, ia berbunyi lagi. namun kali ini seperti suara manusia. bersyair. suaranya bak desir angin yang mengingatkan masa lalu yang tak pernah getir. air mataku kemudian jatuh perlahan. bibirku terasa bergetar. tanganku gemetar. aku tak sanggup lagi mendengarkannya. kali ini aku betul-betul muak. jenuh. dan malu. aku jengah karena bunyi itu seperti mengingatkanku pada cita-cita yang belum terlunaskan. harapan yang berdentang dalam titian massa, yang selalu kuceritakan pada teman-teman, mungkin dengan mata yang mantap menatap masa depan.    


Rabu, 16 Desember 2015

Pemahat Topeng

O, sang Pemahat Topeng
Berhentilah bicara atau mulutmu akan keropeng
Kaupikir kau meyakinkan?—berdalih layaknya ucapanmu sahih?
"Sudah takdirku begini," katamu
"Aku butuh kebebasan," lanjutmu
Persetan!

Bibirmu selicik anak panahberacun getah
Ramah! Padahal meletup-letupkan air kawah
"Justru seperti itulah aku pasrah," kau berkilah!
Ah, sudahlah...
Kutahu hujan tak lagi membuatmu basah

Lihat saja, sebentar lagi kau pasti akan mencari Tuhan
Pada rasa di ujung-ujung tanduk kegelisahan
"Ya, Tuhan, tolonglah aku," katamu nanti.
Tak kenal waktu, tak tahu malu
"Aku kini sudah bertaubat, Tuhan," seperti itu, raungmu tak henti-henti

Aku malu menatapmusungguh!—kau tahu itu
Senyummu kini tak tampak bahagia
Kedipan mata tak lagi ada
Parit-parit kening pun telah sirna
O, sang Pemahat Topengbuanglah pahatanmu segera
Astaga... kau bahkan memakainya saat aku sedang berkaca!?

Semarang, 2015






Rabu, 02 Desember 2015

Muhasabah

Di bangku ini, aku terus menunggu seseorang yang kupercayai menjadi juru kunci dari sekian banyak pintu yang kumiliki
Di bangku ini, aku terus menerus menunggu ia, seolah sedang menanti seorang kekasih yang aku pun tak tahu kapan datangnya

Lalu, kenangan seperti merajuk tiba-tiba

Teringat likat dalam benak, ketika pada suatu pagi embun menetes dari kerlingan mata
Kubuka jendela, lantas kuhirup harumnya udara
Aku membasuh muka dengan asa-asa yang teruar dari jiwa
Hatiku pernah bercita, "Pada suatu ketika, aku akan menjadi orang yang mampu mengubah dunia walau sedikit saja."

Suatu waktu, seseorang bilang kepadaku, "Pangkaslah segala duri yang ada di jari-jarimu."
Aku diam saja
Membiarkannya--bagai kentut di kerumunan manusia yang berbunyi namun tak ada baunya sama sekali
Untuk apa dipermasalahkan, bukan?

Pada akhirnya aku menyadari, bagaimanapun duri, ia tetaplah tajam rentan menyakiti
Apalagi jika tak berhati-hati
Maka, detik ini juga kuikrarkan, aku akan memotongnya kecil-kecil hingga menjadi butiran
Kemudian repihan-repihan--bagai debu--itu kutiup
Tentunya bersamaan dengan segala doa dan pengharapan yang semestinya abadi
Semoga setelah ini, aku menjadi manusia baru yang lebih berhati.

Semarang, 2015. Di depan ruang dosen.








Kamis, 29 Oktober 2015

Rasi Kunci


Kau datang saat pekat tertaut dalam belikat
Sedari lama, jauh sebelum hari melindapnya cahaya
“Hei, lihat,” katamu menggarit malam
Bulan meronta karena kalah jelita

Telunjukmu mengarah ke langit yang sengit
Bersamaan dengan waktu yang tersesap pahit
“Itu namanya Rasi Bintang Biduk,” jelasmu
Teruntuk para sesat sebagai penunjuk

Ah, seperti kunci, pikirku
Lalu aku menamainya kunci hati
Tatkala menunjukkannya, senyummu meleburkan luka
Meski di saat itu pula malam merona pesona
Tak kuduga, pintuku pun menjadi terbuka

Kunci langit, kataku
Kunci yang teruar dari gugusan kata-katamu
Kulantangkan, "Aku menginginkanmu."
Kau tersipu…
Rasi kunci menjadi saksi bisu
Kita bercumbu 
Dalam kelam malam yang ambigu


Rabu, 21 Oktober 2015

Kidung Hujan dalam Kenangan Rembulan



Melalui tatapannya yang dalam, Rosyad pernah bilang bahwa aku adalah bintang di hatinya. Lalu, ia akan sangat senang jika aku mengijinkannya menjadi rembulan. Karena katanya, ia tak akan pernah lagi kesepian jika ditemani bintang seperti diriku.  
Selalu, beberapa detik selepas mata ini bertumbukan dengan purnama di malam yang cerah, saat senyuman Rosyad terpahat dalam guratan rembulan, bayang-bayang Eden muncul sebagai kegelapan.
“Tak usah percaya! Itu hanya bualan Rosyad,” tukas Eden sambil menyeringai, “Kau boleh saja menjadi apa pun yang kau mau, tapi aku tidak terima jika kau disamakan dengan bintang. Ah, pikirkan baik-baik andai kau memang suka menjadi bintang. Lihatlah sekujur langit, buka matamu lebar-lebar, maka kau akan menemukan jutaan bintang di atas sana. Meski cahaya sebuah bintang akan berhenti bersinar suatu saat, bukan berarti bulan akan kesepian. Karena apa? Sebab masih ada jutaan bintang lain yang tersisa. Bahkan, bisa saja bulan lebih menyukai bintang yang lebih benderang jika suatu saat kau meredup.”
***
            Di pinggir sungai samping rumah tempat aku biasa bertegur sapa dengan kenangan, Arlina menggamit lenganku. Aku yang sedang terduduk, sontak menoleh, mendongakkan kepala. Hai, katanya. Perempuan berambut lurus panjang itu pun beringsut duduk di sebelahku. Ia memandangiku dengan binar matanya yang cemerlang. Bibir tipisnya sedikit melebar, meski terkatup rapat terlipat ke arah dalam. Cuping hidungnya tampak menegang. Aku tahu ia sedang menahan tawa.
            “Tebak, apa yang ingin aku ceritakan?”
             Aku mencoba memasang wajah sinis. “Tak usah bertele-tele. Katakan saja.”
            Sontak, jidat Arlina mengernyit, matanya menyipit. Sejujurnya, aku menyukai ekspresinya saat ia sedang seperti itu; raut muka yang sebal, sementara aku suka menjadi sosok yang menyebalkan. Satu lagi, yang kusenangi darinya adalah, beberapa detik lagi, lihat saja, rasa sebalnya akan sirna.
            “Rosyad bilang kalau dia menyukaiku,” lanjutnya sembari tersenyum (Nah!).
            Berkebalikan dengan Arlina yang tampak bahagia, kata-kata itu justru membuat jantungku sejenak berhenti berdetak. Selanjutnya bergejolak. Aku tak tahu kenapa ia lebih menyukai penyair itu daripada diriku. Kendati memang kalah puitis, sebetulnya aku pun tidak kalah romantis.
            “Lalu?”
            “Iya, dia juga bilang kalau aku seperti bintang selepas petang. Indaaah… sekali. Romantis, kan?”
            Cih!? Sungguh aku tak tahu jalan pikiran perempuan. Hanya dengan bualan yang siapa pun bisa mengatakannya, hatinya meleleh. Menjadi bintang selepas petang saja sudah senang, bagaimana jika sedang siang!?
            “Kenapa kau diam saja, Eden?” tanya Arlina memasang wajah cemberut, “Kau tidak memerhatikan ucapanku, ya?”
            Aku terdiam beberapa saat, tetap dengan tatapan yang mengarah ke wajah manisnya. Lantas, kukatakan kepadanya bahwa bulan tak pernah setia. Bintang ada di mana-mana, semuanya berpijar, semuanya juga tampak indah.
            “Terus, kalau kau jadi Rosyad, kau mau jadi apa untukku?”
            “Jangan samakan aku dengan dia!”
            Arlina menghela napas selepas ia mendengar jawaban yang terlontar dari mulutku yang lepas. “Baiklah. Jika kau menjadi Eden, kau mau menjadi apa untuk Arlina?”
            Kututup mata ini, ingin sekali perkataanku beberapa detik lagi memang berasal dari hati. Kuberitahukan kepadanya bahwa aku lebih memilih untuk menjadi hujan daripada bulan. Meski aku tahu betul, tak pelak lagi keduanya memiliki kesamaan analogi. Hujan terkait dengan tumbuhan yang sebetulnya juga berjuta-juta jenisnya. Tumbuhan ada di mana-mana, yang otomatis hujan tak pernah bisa memilih ke mana ia akan turun ke bumi, kepada siapa ia akan menyirami. Tapi aku tetap diam, semoga dia tak tahu maksudku; jika hujan datang, maka bulan akan melindap terdekap gelap.
            “Lalu, jika kau menjadi hujan. Aku menjadi apa?”
            “Middlemist merah,” sambarku cepat.
            Arlina mengerutkan dahinya. “Hah!? Apa itu?”
            “Hmmm, itu  bunga langka, yang sebetulnya sekarang telah punah. Makanya, jika kau adalah Middlemist Merah, tentu kau satu-satunya di dunia ini. Dan akulah yang akan menyiramimu, agar kau tetap indah, supaya kau tidak layu.”
            Arlina mengangguk-anggukan kepala, bibirnya merunjung seperti paruh burung. Aku senang jika dia mulai mengerti, meski dalam hati, diri ini berpikir dia beloon sekali. Takah-takahnya aku setuju dengan pepatah: perempuan kian lugu kian ayu. Maka, memang sekarang ia terlihat menggemaskan dan lucu. Ironisnya, boleh jadi aku saja yang terlalu dini bersenang hati, karena setelah matanya menyeruak jantungku yang beriak, iris matanya tampak bergerak-gerak. “Ah, kau benar Eden. Baiklah, aku akan segera menanyakannya kepada Rosyad. Aku bintang apa baginya,” pungkas Arlina seraya beranjak meninggalkanku. 
***
            Sebentar lagi surya tenggelam berganti malam nan kelam. Di saat itu pulalah, ketakutan selalu mengikis nyali saya. Tatkala kegelapan tersulam dengan sendirinya, mata saya bisa saja membelalak akibat bayang-bayang kenangan yang bersisa nestapa. Saya memang selalu gamang dengan malam yang membuat mamang. Segalanya bermuasal dari kejadian dua puluh tahun silam, pada sebuah tengah malam yang sunyi.
Kebetulan, ketika itu saya yang masih SD tak kunjung jua memejamkan mata. Tiba-tiba, terdengar suara gesekan kaki teruar jelas hingga masuk ke telinga ini. Mulanya, saya hanya diam dan menganggapnya ayah atau ibu saya—tentu karena saya sudah berani tidur tanpa ditemani sehingga saya sudah memiliki kamar sendiri. Tapi, setelah ada barang yang terjatuh, hati saya sontak merapuh. Tak biasanya orang rumah beraktivitas pada jam-jam seperti itu—atau memang saya saja yang tak pernah tahu. Nyatanya, rasa penasaran di benak saya bersikukuh untuk melihat segalanya dengan utuh. Saya bangkit, lalu membungkuk, mendekati pintu dengan menyuruk-nyuruk.
Betapa terkejutnya saya melihat seseorang serupa bayang-bayang mengendap-ngendap di ruang tamu. Saya melihatnya dari sela-sela pintu yang baru saja saya buka. Nahasnya, sinar lampu kamar saya yang menjelanak melewati celah pintu, menumbuk dan membentuk garis cahaya vertikal pada tubuh manusia bayangan itu. Sekilas, matanya tampak melotot menyorot ke arah saya. Sungguh saya menjadi ketakutan karenanya. Pintu saya banting, lantas saya memekik keras-keras.
Saya tidak ingin menceritakannya lebih detail lagi, karena segalanya membuat rongga-rongga ini terpanggang dendam; kebencian yang tak akan tuntas sebelum saya menuntut balas. Yang jelas setelahnya, Ayah dan Ibu dibunuh oleh lelaki pencuri, yang tidak lain adalah paman saya sendiri. Saya tidak tahu ini keberuntungan atau kesialan, nyawa saya terselamatkan oleh beberapa warga yang mendatangi rumah saya. Paman dibekuk, dan sekarang ia berada dalam penjara.
Sejak saat itu saya hidup dengan Nenek di desa. Katanya, rumah orangtua yang berada di kota, dijual untuk membiayai hidup saya selanjutnya. Syahdan, semuanya menjadi permulaan yang mengantarkan saya kepada Eden dan Arlina. Kami berkenalan, kemudian menjadi sahabat yang—semoga saja saling—tak tergantikan.
***
            Rosyad pernah bercerita kepadaku tentang alasan ia tak menyukai malam, tak menyukai kegelapan. Aku memakluminya, sebab kupikir memang tak akan mudah untuk menjalani hidup sepertinya. Maka, saat ia mengatakan bahwa dirinya ingin menjadi rembulan, hatiku bahagia luar biasa. Hanya saja, kini kebahagiaan itu telah sirna lewat secarik kertas yang ditinggalkannya. Karenanya, hingga detik ini aku tahu benar bahwa, ia tak akan pernah menemui aku dan Eden lagi.
            Teruntuk Arlina bintang hati saya. Mungkin, sudah sepantasnya saya tiba-tiba datang dan kemudian pergi. Lewat surat ini, saya hanya ingin meminta maaf jika betapa pernah tebersit rasa cinta di hati ini. Entah saya yang terbutakan cinta, atau justru kamu yang menguatkan saya. Sungguh saya tak pernah berdusta jika saya benar-benar membenci malam. Tapi setelah saya bertemu denganmu, berutas-utas rindu akan teruntai selalu, semuanya seperti titian dukungan yang tiada habisnya. Terima kasih, Arlina.
Jujur, saya tak mengerti tentang hukum di negeri ini. Hukum seperti memandang kasta, bukan dari penegakan sejati. Entah bagaimana caranya, paman saya yang katanya divonis seumur hidup, beberapa hari lagi akan keluar dari penjara. Kabarnya memang, ia ditolong temannya yang konglomerat. Dan betapa saya menjadi lebih bingung, apa motif sebenarnya paman saya kala itu menyulap dirinya menjadi pencuri!? Karena bagi saya mengeluh dan tetap diam bukanlah hal yang masuk akal, maka, mungkin memang inilah jalan bagi saya untuk menuntut balas. Maafkan saya, Arlina.
Dan teruntuk Eden bintang hati saya yang lain. Kamu juga tak kalah hebatnya dengan Arlina. Kamulah teman lelaki terhebat yang pernah  saya punyai. Betapa saya tak akan melupakan saat kamu mengerjai saya dengan menutup mata ini dengan kedua telapak tanganmu, betapa saya teringat pula kamu mengajak saya untuk bermain petak umpet di malam hari. Saya tahu kamu menyukai Arlina. Pula, lewat surat ini saya mohon dengan sangat, jangan pernah menyakiti hatinya. Maafkan saya Eden, sebab saya pernah mencintai Arlina. Dari sahabat kalian: Rosyad.  
            Kupandangi wajah Eden yang ikut pula membaca surat dari Rosyad. Matanya berkaca-kaca, mungkin juga sama dengan kondisi mataku saat ini. Aku mendongakkan kepala ke arah langit; tak ada bulan di sana karena tertutup mendung yang pekat. Eden lalu memelukku... lama sekali.
            Rintik-rintik gerimis mulai menempias wajah setiap kami. Namun kami tetap berdiri saling mendekap, terpaku di tepi sungai samping rumah Eden. Kupikir benar-benar, sepertinya aku memang telah siap untuk menjadi Middlemist Merah. Dan atas nama kidung hujan di malam ini, aku percaya bahwa Eden benar-benar mencintaiku dengan setulus hati. Meski, pada sisi yang lain hati ini juga meyakini, kendatipun bulan tak tampak dari sini, ia akan tetap bercahaya di belahan dunia lain yang tak pernah kumengerti.

Rabu, 14 Oktober 2015

Bulan dalam Bundaran Asap Rokok




Di halaman sebuah kedai kopi, aku duduk sambil menyaksikan satu per satu raut gembira tiga laki-laki yang semeja denganku. Mungkin, begitu pula dengan setiap mereka: memandangiku, serta mengamati kedua temanku yang lainnya. Dan sepertinya, bulan yang berada jauh di atas sana, juga sedang memerhatikan kami berempat yang sedang bersua.
            Tentu saja, pertemuan ini memang acara kebahagiaan yang yang kami sengajakan; nostalgia masa-masa SMA, antara Ndaru, Respati, Rasyid, dan aku. Sudah berbelas-belas tahun kami tak pernah berjumpa. Padahal, sebetulnya kami berada di provinsi yang sama. Mungkin karena kesibukan atau boleh jadi ketidakberuntungan, maka sebelumnya kami hanya menjalani kehidupan sendiri-sendiri, tanpa saling memikirkan untuk reuni. Dan akhirnya, kerinduanlah yang mengantarkan kami pada malam ini.
            Alangkah berseri-serinya wajah Ndaru, yang baru tahun kemarin dianugerahi anak kembar. Setelah sekian lama dirinya hanya selalu berduet dengan istrinya di dalam rumah, kini ia tampak bahagia dengan kuartetnya.
            “Ehem, Tuhan memang Maha Tahu, ya? Setelah sekian lama menunggu, akhirnya mereka datang juga untukku,” seru Ndaru memulai pembicaraan “menarik” ini, “Padahal, dulu sempat kupikir bahwa takdir itu kejam. Ternyata tak semiris yang kupikirkan, hahaha….” Lelaki yang berambut ikal itu tertawa lebar. Sangat bangga sepertinya.
            “Wooo, bahagia sekali, ya, kawan kita yang satu ini. Terus, bagaimana rasanya. Bolehlah, ceritakan kebahagiaanmu itu dengan kami,” ujar Rasyid. Sepertinya dia yang paling antusias untuk melanjutkan topik pembicaraan. Maklum saja, Rasyid-Ndaru adalah teman sebangku kala itu. Mungkin chemistry mereka menguat kembali saat mereka duduk bersebelahan seperti saat ini.
            “Ah, kamu seperti tak pernah punya anak saja, Syid…Syid. Bukankah dari kita berempat, kaulah yang paling duluan punya momongan, hah?” sergah Respati, teman sebangkuku dulu, juga teman sebelahku saat ini. Ya, kami berempat memang komplotan yang enggan terpisahkan. Tempat duduk kami selalu bergerombol, seperti koloni meerkat[1]. Selalu kompak.
            “Oh, iya, kalian memang tak pernah tahu punya anak kembar rasanya seperti apa. Itu tak terdefinisikan, you know!? Yang jelas aku selalu ingin membuat mereka tertawa. Dan dari situ aku bahagia.” Ndaru tersenyum sambil melirik ke atas, ke rembulan yang selalu tahu apa yang kami bicarakan. Matanya berbinar-binar. Baru kali ini aku melihatnya seserius itu.
            “Namun kau belum pernah tahu rasanya dipuji wali murid anakmu, bukan?” tanya Respati. “Semoga kelak anakmu bisa seperti Superman kecilku. Mendapat peringkat pertama dalam ujian nasional tingkat SD kemarin rasanya seperti…, ah, tak bisa kuutarakan. Si kecil yang selalu minta gendong di punggungku, yang selalu minta dipanggul saat ada karnaval, dan yang selalu minta duduk di depan saat kami sedang mengendarai motor,” tambahnya.
            Rasyid tersenyum sinis. “Jangan senang dulu, kalian hanya belum sampai waktunya saat anak kalian tumbuh dewasa. Kalian seharusnya tahu anakku sekarang sudah jadi gadis, bukan? Yang dulu minta dibelikan mainan plastik, sekarang minta dibelikan kosmetik. Yang dulu minta Barbie sekarang minta Blackberry. Yang dulu sukanya nonton kartun sekarang sukanya nonton Kim Joon atau siapa itu. Yang dulu suka merengek manja di pangkuanku tapi sekarang sudah malu memelukku. Ah, entahlah.” Dia lalu mengangkat satu kakinya di kursi sambil mengisap rokok yang sedari tadi terkunci di antara dua jari. Iya, Rasyid. Ia yang mengajariku merokok saat itu. Yang mengajari aku caranya membuat asap berbentuk lingkaran. Katanya, merokok itu seni melukis kenangan. Termasuk dalam gumpalan-gumpalan seperti donat yang baru saja ia lesakkan, ia dapat melihat memorinya dari dalam sana. Entah bagaimana asal-usul dia mendapatkan pedoman semacam itu.
             Ndaru tergelak. Barangkali, jiwanya masih terbalut dengan kebahagiaan kehadiran putra dan putrinya. “Tapi, bukankah itu kebanggaan yang besar, kau sudah merawatnya hingga titik ini?” Ndaru bersandar sambil membenarkan kacamatanya.
            Rasyid membuat bundaran lagi dari gumpalan asap yang keluar dari mulutnya. Dia melenguh. “Sebenarnya aku bukan ayah yang baik.”
            Kami bertiga saling melirik. Sepertinya ini akan menjadi bahasan yang agak sentimental. Mata kami kembali menuju Rasyid, dan ia pun masih terus memerhatikan bundaran asap yang dibuatnya tadi. Padahal, kupikir asapnya sudah tak kasatmata.
            “Aku selalu melarang apa pun yang ia suka.” Pandangan Rasyid mamang. “Bagiku, belum waktunya ia pacaran. Belum waktunya ia berpisah denganku, merantau kuliah atau apalah, aku belum rela. Jika ia mau, tidur-tiduran saja tak masalah, asal dia tak berada jauh-jauh dari jangkauanku.”
            Aku tertunduk. Perkataan Rasyid ada benarnya juga. Apakah mungkin kelak aku juga akan merasakan kekhawatiran yang sama sepertinya?
            Bulan masih bergeming di atas sana, di langit yang punya berjuta pasang mata berpijar. Atau hanya aku saja yang tak merasa dia bergerak. Ah, dia pasti sedang membaca isi hati ini sekarang. Entah mengapa, aku merasa malam ini bulan terus mengintai kami, terutama aku.
            Barangkali bukan sebuah kebetulan jika ketiga temanku ini melihatku secara serentak. Aku memang belum pernah berucap sepatah kata pun sedari tadi. Bibirku hanya ikut melebar jika mereka semua tersenyum, mulutku ikut menganga jika mereka semua tertawa, dan mataku ikut menghunus jika mereka sedang serius.
            “Hoe, bagaimana dengan anakmu, Has?” tanya Ndaru.
            Kali ini aku merasa disudutkan dengan pertanyaan itu. Ataukah aku yang tidak sadar jika sekarang memang giliranku untuk bercerita. Baiklah, aku akan memulainya.
            “Ehm, Tiara? Belumkah kalian melihat fotonya di Facebookku?” Aku menggaruk-garuk kepala padahal tidak gatal sama sekali. Rasyid mengacungkan sebatang rokok ke arahku, raut mukanya  seperti memaksaku untuk segera bercerita kembali. Maka, kunyalakan rokok yang ditawarkannya itu. Aku pun membentuk bundaran asap. Terkesiap! Benar saja, semua kenanganku ada di dalam sana. Rasyid sepertinya tidak mengada-ada.
            “Maksudku, bagaimana keadaan Tiara kecilmu tanpa Nastiti, Has?” tanya Ndaru.
            Aku memandangi asap yang aku buat tadi. “Oh, aku hanya menjawabnya, ‘Ibu sedang pergi di tempat yang jauh, Nak’. Begitu saja. Aku hanya tak mau dia bersedih seperti yang kamu bilang, kan, Ndar? Sangat bahagia bila melihat buah hati tertawa bukan? Lagipula sudah ada Nadira yang merawatnya.”
            “Nadira? Siapa itu? Istrimu yang baru? Kok tak ada kabar?” Ndaru memberondong aku dengan pertanyaan-pertanyaan sok tahunya. Aduh, aku sebenarnya tak terlalu suka diinterogasi. Biarlah semua ini menjadi privasiku sendiri.
            “Dia pengasuh Tiara,” jawabku singkat.
            “Lalu, kenapa tidak kau nikahi saja dia?”
Lagi-lagi Ndaru. Argh…!
            Aku mencoba mengontrol keadaan. Biarkan cengar-cengir ini saja yang membalas pertanyaan Ndaru. Tak apa-apa semuanya menjadi ambigu, memang seperti itulah tujuanku.
Aku membuat bundaran lagi. Kali ini kuarahkan ke atas. Tepat dari dalam bundaran asap itu, aku melihat sang bulan yang membisu. Aku hanya khawatir padanya. Dia pasti benar-benar tahu bahwa Tiara hanyalah anak adopsi Nastiti dan aku. Namun, semenjak Nastiti meninggal, aku panggil saja ibu aslinya untuk merawat Tiara.    


[1]Meerkat: mamalia, anggota dari keluarga luwak (banyak ditemukan di Gurun Kalahari dan Afrika Selatan). Kelompoknya sering disebut klan, geng, atau mob.