Di bangku ini, aku terus menunggu seseorang yang kupercayai menjadi juru kunci dari sekian banyak pintu yang kumiliki
Di bangku ini, aku terus menerus menunggu ia, seolah sedang menanti seorang kekasih yang aku pun tak tahu kapan datangnya
Lalu, kenangan seperti merajuk tiba-tiba
Teringat likat dalam benak, ketika pada suatu pagi embun menetes dari kerlingan mata
Kubuka jendela, lantas kuhirup harumnya udara
Aku membasuh muka dengan asa-asa yang teruar dari jiwa
Hatiku pernah bercita, "Pada suatu ketika, aku akan menjadi orang yang mampu mengubah dunia walau sedikit saja."
Suatu waktu, seseorang bilang kepadaku, "Pangkaslah segala duri yang ada di jari-jarimu."
Aku diam saja
Membiarkannya--bagai kentut di kerumunan manusia yang berbunyi namun tak ada baunya sama sekali
Untuk apa dipermasalahkan, bukan?
Pada akhirnya aku menyadari, bagaimanapun duri, ia tetaplah tajam rentan menyakiti
Apalagi jika tak berhati-hati
Maka, detik ini juga kuikrarkan, aku akan memotongnya kecil-kecil hingga menjadi butiran
Kemudian repihan-repihan--bagai debu--itu kutiup
Tentunya bersamaan dengan segala doa dan pengharapan yang semestinya abadi
Semoga setelah ini, aku menjadi manusia baru yang lebih berhati.
Semarang, 2015. Di depan ruang dosen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar