Laman

Minggu, 07 Februari 2016

Sebuah Asa dan Omong Kosong yang Menyertainya



Aku tak tahu ini jenis tulisan apa, Arlina, setidaknya, segala yang kutulis adalah bagian dari siratan rasa yang mendekam berbulan-bulan lamanya. Jadi cukup diamlah saja, sebab jika kau tertawa, maka aku akan malu luar biasa.
            Semoga kau masih ingat tatkala kita berdua berteduh di bawah atap yang sama, sama-sama bersedekap—barangkali memang itulah yang mesti dilakukan agar dingin menjadi lingkap. Cuaca memang kian menggigil, tak tahu mengapa kita mesti bersua sedemikian rupa. Namun andai saja semuanya terjadi pada sebuah jalan yang penuh kehangatan, kemudian kita bertabrakan—seperti salah satu adegan basi sinetron yang sepatutnya dimuseumkan, pastilah kita tak akan punya waktu lebih untuk berkenalan.  
Kau tahu? Tiba-tiba saja jantungku berdesir hebat saat mata ini melirikmu. Kau tampak duduk tenang sembari memandang (mungkin saja) titik-titik hujan yang berloncatan seperti belalang yang tembus pandang. Loncatan yang begitu jernih, pikirku, sejernih matamu, mata yang beberapa detik kemudian berbalik ke arahku. Tentu tak dapat terelak mata kita bersitatap, saling mengikat, likat menjerat, dan di situlah pikiranku dilanda penasaran yang hebat.
            Baiklah, jujur saja kala itu aku benar-benar mencari cara bagaimana aku mesti mengawali pembicaraan kita. Seperti pada kisah-kisah yang biasa saja, aku bertanya, “Nona mau ke mana?” Lalu kau tersenyum (sedikit sekali) dan menjawab bahwa kau akan pergi ke sebuah desa. Bagaimanapun kebetulan hampir selalu ada di setiap cerita—yang akan diceritakan, maka tanpa mengurangi rasa pura-pura, aku akan bercerita bahwa destinasimu adalah tempat yang kutuju juga. Meski, memang itulah kenyataannya.
            Tak perlu waktu yang banyak bagiku untuk mengetahui namamu, Arlina, tentu lantaran kau begitu ramah. Tenang saja, aku bukanlah pria yang berpikiran “mewah”: tak akan menganggap perempuan jutek itu sombong dan perempuan yang ramah itu murah. Tiadalah yang murah bagi keramahan yang engkau ciptakan, Arlina, bahkan di setiap pancar senyuman yang kautunjukkan, tentu tak akan ada alasan bagiku untuk tak menjadikanmu salah satu kenangan terindah dalam hidupku.
            Lalu aku kembali berbasa-basi dengan menanyakan (sekadar) keperluan apa dirimu pergi ke desa.
            “Ingin menemui suamiku,” jawabmu ragu-ragu.
            Dan setamsil tersambar halilintar, aku mati sejenak meski tak terkapar. Hujan yang sedari tadi menghunjam tanpa ampun pun serasa terhenti, waktu tetap berdetak, namun segalanya tak bergerak. Sungguh logikanya di mana?
            Dari situ—kita akhirnya berpisah sebab kemudian aku menerobos hujan—wajahmu selalu mengiang-ngiang di pikiranku. Lari-lari kecil sekadar menyapa ketika aku sedang merenung seorang diri, atau sesekali mencolek ingatan ketika surat kekaguman ini aku tuliskan. Begitu pula aku percaya bahwa sebaiknya manusia memang tak usah berharap pada seseorang terlalu banyak, apalagi kepada ia yang menjengul dalam hidup beberapa jenak. Atau manusia harus rela untuk kecewa, atau mau tak mau mesti mengikhlaskannya. O, Arlina, kelak saat kita kembali berjumpa, semoga kau telah menjadi janda.