Aku tak tahu ini jenis tulisan apa, Arlina, setidaknya,
segala yang kutulis adalah bagian dari siratan rasa yang mendekam
berbulan-bulan lamanya.
Jadi cukup diamlah saja, sebab jika kau tertawa, maka aku akan malu luar biasa.
Semoga
kau masih ingat tatkala kita berdua berteduh di bawah atap yang sama, sama-sama
bersedekap—barangkali memang itulah yang mesti dilakukan agar dingin menjadi
lingkap. Cuaca memang kian menggigil, tak tahu mengapa kita mesti bersua sedemikian
rupa. Namun andai saja semuanya terjadi pada sebuah jalan yang penuh kehangatan,
kemudian kita bertabrakan—seperti salah satu adegan basi sinetron yang sepatutnya
dimuseumkan, pastilah kita tak akan punya waktu lebih untuk berkenalan.
Kau tahu? Tiba-tiba saja jantungku berdesir hebat saat
mata ini melirikmu. Kau tampak duduk tenang sembari memandang (mungkin saja) titik-titik hujan yang berloncatan seperti belalang yang tembus
pandang. Loncatan yang begitu jernih, pikirku, sejernih matamu, mata yang
beberapa detik kemudian berbalik ke arahku. Tentu tak dapat terelak mata kita
bersitatap, saling mengikat, likat menjerat, dan di situlah pikiranku dilanda
penasaran yang hebat.
Baiklah,
jujur saja kala itu aku benar-benar mencari cara bagaimana aku mesti mengawali
pembicaraan kita. Seperti pada kisah-kisah yang biasa saja, aku bertanya, “Nona
mau ke mana?” Lalu kau tersenyum (sedikit sekali) dan menjawab bahwa kau akan
pergi ke sebuah desa. Bagaimanapun kebetulan hampir selalu ada di setiap cerita—yang
akan diceritakan, maka tanpa mengurangi rasa pura-pura, aku akan bercerita
bahwa destinasimu adalah tempat yang kutuju juga. Meski, memang itulah
kenyataannya.
Tak
perlu waktu yang banyak bagiku untuk mengetahui namamu, Arlina, tentu lantaran
kau begitu ramah. Tenang saja, aku bukanlah pria yang berpikiran “mewah”: tak
akan menganggap perempuan jutek itu sombong dan perempuan yang ramah itu murah.
Tiadalah yang murah bagi keramahan yang engkau ciptakan, Arlina, bahkan di
setiap pancar senyuman yang kautunjukkan, tentu tak akan ada alasan bagiku
untuk tak menjadikanmu salah satu kenangan terindah dalam hidupku.
Lalu
aku kembali berbasa-basi dengan menanyakan (sekadar) keperluan apa dirimu pergi
ke desa.
“Ingin
menemui suamiku,” jawabmu ragu-ragu.
Dan
setamsil tersambar halilintar, aku mati sejenak meski tak terkapar. Hujan yang sedari
tadi menghunjam tanpa ampun pun serasa terhenti, waktu tetap berdetak, namun
segalanya tak bergerak. Sungguh logikanya di mana?
Dari
situ—kita akhirnya berpisah sebab kemudian aku menerobos hujan—wajahmu selalu mengiang-ngiang di pikiranku. Lari-lari
kecil sekadar menyapa ketika aku sedang merenung seorang diri, atau sesekali
mencolek ingatan ketika surat kekaguman ini aku tuliskan. Begitu pula aku
percaya bahwa sebaiknya manusia memang tak usah berharap pada seseorang terlalu
banyak, apalagi kepada ia yang menjengul dalam hidup beberapa jenak. Atau manusia harus rela untuk kecewa, atau mau tak mau mesti
mengikhlaskannya. O, Arlina, kelak saat kita kembali berjumpa, semoga kau telah
menjadi janda.