hampir tiap malam bunyi-bunyian itu menderu di kepalaku. sebelum tidur, lalu membuatku terjaga. aku tak tahu itu apa, jelasnya ia terdengar begitu nyata.
kau tahu, bunyi-bunyian itu merebak bak lonceng kematian. berkelindan, memenuhi otak dan sekujur badan. kian waktu pun kian menyedihkan. ia terasa bagai alunan rekuiem yang kesedihannya tak bisa lagi terutarakan. selalu, ia menyulut kerinduan yang sedari dulu aku simpan; rindu pada setiap ikrar yang mengembus bersamaan napas yang selalu aku bangga-banggakan.
suatu kali aku pernah memerhatikannya dalam diam. ia bertalu-talu tiada henti seolah ingin menyadarkanku bahwa kehidupan ini akan segera mati. ini bukan tentang nyawa, kurasa, justru segalanya tentang rasa. hidup tak punya rasa barangkali seperti orang yang tak punya kehidupan. setamsil, orang miskin akan tetap hidup biasa saja kalau ia tak merasakan kemiskinannya, atau sebaliknya, orang miskin suatu ketika bisa mengatakan dunia ini teramat kejam sebab ia merasakannya. begitu lebih kurangnya, dan kau tentu boleh untuk tak percaya.
kemarin, aku mencoba mendengarkannya dengan lebih saksama. nyatanya, bunyi-bunyian itu malah melamban. aku tak mengerti. kebingungan. aku diam, mencoba tenang dan berkonsentrasi. benar saja, ia berbunyi lagi. namun kali ini seperti suara manusia. bersyair. suaranya bak desir angin yang mengingatkan masa lalu yang tak pernah getir. air mataku kemudian jatuh perlahan. bibirku terasa bergetar. tanganku gemetar. aku tak sanggup lagi mendengarkannya. kali ini aku betul-betul muak. jenuh. dan malu. aku jengah karena bunyi itu seperti mengingatkanku pada cita-cita yang belum terlunaskan. harapan yang berdentang dalam titian massa, yang selalu kuceritakan pada teman-teman, mungkin dengan mata yang mantap menatap masa depan.