Laman

Rabu, 23 Desember 2015

bunyi yang bertalu-talu di kepalaku

hampir tiap malam bunyi-bunyian itu menderu di kepalaku. sebelum tidur, lalu membuatku terjaga. aku tak tahu itu apa, jelasnya ia terdengar begitu nyata.

kau tahu, bunyi-bunyian itu merebak bak lonceng kematian. berkelindan, memenuhi otak dan sekujur badan. kian waktu pun kian menyedihkan. ia terasa bagai alunan rekuiem yang kesedihannya tak bisa lagi terutarakan. selalu, ia menyulut kerinduan yang sedari dulu aku simpan; rindu pada setiap ikrar yang mengembus bersamaan napas yang selalu aku bangga-banggakan. 

suatu kali aku pernah memerhatikannya dalam diam. ia bertalu-talu tiada henti seolah ingin menyadarkanku bahwa kehidupan ini akan segera mati. ini bukan tentang nyawa, kurasa, justru segalanya tentang rasa. hidup tak punya rasa barangkali seperti orang yang tak punya kehidupan. setamsil, orang miskin akan tetap hidup biasa saja kalau ia tak merasakan kemiskinannya, atau sebaliknya, orang miskin suatu ketika bisa mengatakan dunia ini teramat kejam sebab ia merasakannya. begitu lebih kurangnya, dan kau tentu boleh untuk tak percaya.

kemarin, aku mencoba mendengarkannya dengan lebih saksama. nyatanya, bunyi-bunyian itu malah melamban. aku tak mengerti. kebingungan. aku diam, mencoba tenang dan berkonsentrasi. benar saja, ia berbunyi lagi. namun kali ini seperti suara manusia. bersyair. suaranya bak desir angin yang mengingatkan masa lalu yang tak pernah getir. air mataku kemudian jatuh perlahan. bibirku terasa bergetar. tanganku gemetar. aku tak sanggup lagi mendengarkannya. kali ini aku betul-betul muak. jenuh. dan malu. aku jengah karena bunyi itu seperti mengingatkanku pada cita-cita yang belum terlunaskan. harapan yang berdentang dalam titian massa, yang selalu kuceritakan pada teman-teman, mungkin dengan mata yang mantap menatap masa depan.    


Rabu, 16 Desember 2015

Pemahat Topeng

O, sang Pemahat Topeng
Berhentilah bicara atau mulutmu akan keropeng
Kaupikir kau meyakinkan?—berdalih layaknya ucapanmu sahih?
"Sudah takdirku begini," katamu
"Aku butuh kebebasan," lanjutmu
Persetan!

Bibirmu selicik anak panahberacun getah
Ramah! Padahal meletup-letupkan air kawah
"Justru seperti itulah aku pasrah," kau berkilah!
Ah, sudahlah...
Kutahu hujan tak lagi membuatmu basah

Lihat saja, sebentar lagi kau pasti akan mencari Tuhan
Pada rasa di ujung-ujung tanduk kegelisahan
"Ya, Tuhan, tolonglah aku," katamu nanti.
Tak kenal waktu, tak tahu malu
"Aku kini sudah bertaubat, Tuhan," seperti itu, raungmu tak henti-henti

Aku malu menatapmusungguh!—kau tahu itu
Senyummu kini tak tampak bahagia
Kedipan mata tak lagi ada
Parit-parit kening pun telah sirna
O, sang Pemahat Topengbuanglah pahatanmu segera
Astaga... kau bahkan memakainya saat aku sedang berkaca!?

Semarang, 2015






Rabu, 02 Desember 2015

Muhasabah

Di bangku ini, aku terus menunggu seseorang yang kupercayai menjadi juru kunci dari sekian banyak pintu yang kumiliki
Di bangku ini, aku terus menerus menunggu ia, seolah sedang menanti seorang kekasih yang aku pun tak tahu kapan datangnya

Lalu, kenangan seperti merajuk tiba-tiba

Teringat likat dalam benak, ketika pada suatu pagi embun menetes dari kerlingan mata
Kubuka jendela, lantas kuhirup harumnya udara
Aku membasuh muka dengan asa-asa yang teruar dari jiwa
Hatiku pernah bercita, "Pada suatu ketika, aku akan menjadi orang yang mampu mengubah dunia walau sedikit saja."

Suatu waktu, seseorang bilang kepadaku, "Pangkaslah segala duri yang ada di jari-jarimu."
Aku diam saja
Membiarkannya--bagai kentut di kerumunan manusia yang berbunyi namun tak ada baunya sama sekali
Untuk apa dipermasalahkan, bukan?

Pada akhirnya aku menyadari, bagaimanapun duri, ia tetaplah tajam rentan menyakiti
Apalagi jika tak berhati-hati
Maka, detik ini juga kuikrarkan, aku akan memotongnya kecil-kecil hingga menjadi butiran
Kemudian repihan-repihan--bagai debu--itu kutiup
Tentunya bersamaan dengan segala doa dan pengharapan yang semestinya abadi
Semoga setelah ini, aku menjadi manusia baru yang lebih berhati.

Semarang, 2015. Di depan ruang dosen.