Laman

Sabtu, 13 Juni 2015

Kunang-Kunang Kenangan


Oleh: Wawan Esideika



            Di lorong ini, ia berdiri mematung. Manik matanya melirik kiri dan ke kanan, kadang ke atas pun sesekali ke bawah. Mengamati cahaya seekor kunang-kunang, mengikuti ke mana hewan itu terbang. Bibirnya tersenyum, namun matanya menyungging sendu. Sendu yang ia rasakan belakangan ini, yang teramat dalam, seolah tiada lagi yang lebih dalam.   

            Wajahnya yang pias, seharusnya menarik perhatian orang-orang yang berlalu-lalang. Namun nyatanya, orang-orang tak ada yang barang sedikit menegur atau sekadar menanyakan gerangan apakah yang membuatnya berdiri di lorong ini, malam hari, seorang diri. Padahal, sama sekali pemuda itu tak memagari dirinya dengan tabir rahasia. Pagar yang membatasi dirinya untuk bercerita.

            Mujur tiba menimpa. Seorang gadis berkulit putih, berpakaian serba putih, lengkap dengan kap perawat yang terpagut di kepala, menghampiri pemuda yang sedang asyik dengan kunang-kunangnya.

            “Permisi,” sapa gadis itu dengan tersenyum.

            Pemuda berambut ikal itu sedikit tersentak, merasa agak terkesiap. Pun buyarlah lamunan kunang-kunang dan segala tentangnya. Lalu, ia menengok cepat ke arah sumber suara.

             “Ya,” jawab sang lelaki pengamat kunang-kunang yang sebetulnya sempat menggerutu di dalam kalbu. Namun, sebab diperolehnya seorang perawat cantik dengan rambut panjang hitam tergerai hingga menutupi lekuk payudaranya, pun lengkap dengan senyuman manis ala gadis-gadis, maka, tak jadi sebal, pemuda itu lantas membalas senyuman indah yang menancap di kedua matanya itu dengan senyuman pula.

            “Kenapa Anda merenung di sini? Bukankah seharusnya Anda berada di dalam ruangan?” Gadis itu bertanya dengan tatapan yang tajam.

            “Ah, iya. Saya cuman lagi tertarik dengan kunang-kunang itu,” jawab sang pemuda sambil menunjuk dengan jari telunjuk ke arah kunang-kunang yang hinggap di sebuah batu.

            “Ehm. Ada apa dengan kunang-kunang, bukannya dia cuma serangga biasa seperti serangga yang lainnya, kan?”

            Kali ini pemuda beraut pias itu menatap gadis berpakaian perawat yang berada di depannya. Diamatinya wajah gadis perawat itu lebih detail; alis yang sedikit tebal, hidung yang mungil, dan bibir yang tipis.

“Bagiku, kunang-kunang seperti kenangan dan harapan,” jawab sang pemuda mantap. Suaranya lantang.

Ucapan yang sontak membuat penasaran, tentu bagi si gadis perawat yang sedari tadi belum memperkenalkan diri. Sejenak, kelengangan melanda mereka berdua. Meski masih ada beberapa orang yang berjalan lalu-lalang, tapi tetap saja tak ada yang menghiraukan.

“Baiklah, semoga Anda bersedia saya baca,” tegas gadis perawat. Mendadak, mata gadis itu berubah menjadi lebih tajam, teramat tajam, seolah tiada yang lebih tajam. Kedua mata mereka bertemu, menelusup sendu….

***

            Atas nama malam pertama di awal tahun ini, keduanya bukanlah pluviophile[1] yang mencintai petrichor[2]. Mereka berdua hanya sedang berada di pucuk kedilemaan. Meski dihiasi guyuran hujan deras, tetaplah keduanya tak beranjak dari tempat mereka berdiri sekarang.

            “Sudah kubilang, lebih baik hubungan kita diakhiri saja, Dir!”

            Dirga menggeleng-gelengkan kepalanya seakan tiada percaya bahwa peristiwa ini benar-benar terjadi. Kejadian yang ia pernah ramalkan betul-betul menjadi kenyataan.

            “Lalu, apa alasannya?”

            Lucy menunduk. Telapaknya mengepal, lengannya bergetar. Tetesan air mata mulai keluar dari mata Lucy. Yang kemudian, tetesan-tetesan itu akan nampak hilang karena menyatu dengan air yang sedari tadi menghunjam dari atas langit. Hatinya berdesir menahan getir.

            “Nggak ada alasannya, Dir—”

            “Pasti ada!” sergah Dirga dengan teriakan yang cukup keras.

             Kali ini Lucy benar-benar tak sanggup jikalau rahasia itu berlama-lama ia simpan. Sampai kapan? Lalu, dengan segala sesak yang menyelimuti dada, pun dengan bibir yang mulai membiru, dikatakanlah yang sebenar-benarnya.

            “Aku dijodohkan,” jawab Lucy singkat.

            “Cih!?” Dirga membuang muka, seakan ini adalah alasan yang antiklimaks baginya. Dalih yang kurang masuk akal, mengada-ada.

“Teori macam apa lagi ini, hah?” Dirga mengangguk-anggukan kepalanya seraya menyeringai. Pun, ia melanjutkan, “Mustahil bisa kamu dijodohkan. Bukankah kita dipertemukan karena kanker otak yang sama. Bahkan kita tak pernah tahu, berapa lama lagi kita hidup di dunia ini kan? Tak usah mengarang cerita!”

             Perlahan, Lucy mendongakkan kepala. Mengumpulkan segala keberanian menatap mata orang yang berdiri di depannya walau ia sedang membuang muka. Orang yang mungkin akan selalu Lucy cintai selama hidupnya.

            “Ini ujian bagi kita, kan? Juga bukti bahwa ayah-ibuku masih punya harapan yang besar kepadaku.” Lucy menghentikan perkataannya sejenak, menghela napas, lalu melanjutkan meski ketidakrelaan menggenangi pikirannya, “Sadarlah Dir, masih banyak perempuan-perempuan di luar sana yang sudah pasti jauh lebih baik dari aku.”

            “Tapi… tapi apa kamu sudah lupa dengan janji-janji yang telah kita bicarakan dulu?” sahut Dirga sambil mengembalikan pandangannya ke arah Lucy. Dirga menelan ludah. Suaranya melirih.

“Aku nggak akan pernah lupa percakapan kita dulu, kok, Dir. Kamu tahu kan arti namaku? Luciferin. Itu zat yang membuat kunang-kunang bercahaya. Dan jika aku mati nanti, aku akan jadi kunang-kunang untukmu. Dan kamu… kamu selalu menjadi Dirgantara untukku.”

Dirga tercenung mendengar pernyataan Lucy. Sungguh berlawanan jika katakanlah guyuran air selalu membebaskan orang yang terlalu dalam melamun, kali ini Dirga malah mampu termangu sepenggal waktu. Hati yang dirundung cinta memang tak berlogika. Walau hujan deras menerpa, mereka tetap menjejakkan kaki di sana. Meski tubuh sama-sama menggigil, gigi-gigi saling bergeletuk, bibir bergetar, dan hati yang serasa runtuh.

      "Ma-maafkan—"
 

Belum sempat Lucy menghabiskan kalimatnya, Dirga mendekap Lucy erat. Erat sekali. Dirasakannya dalam-dalam perasaan Lucy saat ini, walau hanya lewat terkaan-terkaan saja. Mungkin keteraturan napas dan penolakan kecil bisa menjadi jawabannya. Sebab keduanya tiada terjadi, itulah yang menimbulkan getaran-getaran dari dalam dada. Perlahan tapi pasti, denyutan-denyutan aneh yang semakin lama semakin tak kepalang tanggung, seakan menggedor-gedor ingin keluar menemani mereka berdua, menyelimuti keduanya, mendedah emosi, meninggalkan nurani, hingga melahirkan birahi. Lantas, setelah pelukan itu lepas, kepala mereka pun berhadapan, saling memandangi satu sama lain. Mata Dirga menajam seolah menghunus tanpa ampun pupil mata kekasihnya yang membesar. Dan perasaan Lucy mulai tidak keruan. Napasnya secara tak teratur berhamburan, pun jantung-jantung terasa berdetak jauh lebih cepat dari biasanya, lebih kencang dari biasanya. Tanpa kesepakatan, akhirnya kedua bibir insan itu pun berpagutan, saling melumat penyesalan, merajut kenangan. Keduanya memejam seiring jiwa yang bersatu. Jiwa yang beputar, berpusing seperti balerina yang sedang menunjukkan kelihaiannya. Hingga sebegitu kencangnya berputar, akhirnya mereka terbang jauh, teramat jauh, seolah tiada lagi yang lebih jauh. 

***

            “Lalu, hari ini tepat sebulan Lucy meninggal kan, Dir? Di rumah sakit lain, setelah rumah sakit ini tak sanggup menanganinya?” sang perawat cantik menanyakan sesuatu yang sebetulnya sudah ia ketahui kepada sang pemuda yang tak lain bernama Dirga.

            Dirga terbelalak. Kali ini ia benar-benar tersentak. Tak habis pikir, bagaimana gadis itu bisa tahu semuanya.

            “Se-sebenarnya, siapa Anda?” tanya Dirga dengan terbata-bata.

            Gadis perawat itu hanya tersenyum, seakan tak pernah terjadi apa-apa. Alangkah paradoksnya dengan kepala Dirga yang seolah terbelah menjadi dua oleh arit yang berbentuk tanda tanya.

            “Baiklah. Saya tahu Anda masih punya harapan besar bertemu Lucy, akan kusampaikan padanya. Atau, sebetulnya Anda pun bisa menemuinya sendiri, di rumah sakit tempat ia meninggal. Jangan mendekam di rumah sakit ini terus, dong. Ah, apalagi di ruang mayat. Apa enaknya?” pungkas gadis itu sambil mengerlingkan mata kemudian membalikkan badannya.

            Gadis perawat itu lantas beranjak dari tempat Dirga. Berjalan perlahan, sambil terkekeh-kekeh, menyusuri lorong yang kini telah sepi. Melayang. Tak menapak lantai. Lalu melesap di antara kegelapan malam. Gelap yang teramat gelap, seolah tiada lagi yang lebih gelap.

Satu hal, sebetulnya gadis itu pun tahu. Bahwa kunang-kunang yang terbang, adalah selalu kunang-kunang jantan. Sebutlah nama panjangnya: Luciferin Hardiyanto. Dan Dirga melesak terbang untuk segera menemuinya.




[1] Pecinta bau hujan
[2] Bau alami hujan yang tercium saat hujan turun membasahi tanah yang kering

Sabtu, 06 Juni 2015

Cemi dan Cemo


Di sebuah daerah belahan bumi tertentu pada sebuah jalur waktu, tersebutlah dua orang pria yang hidupnya hampir selalu berkontradiksi: Cemipok dan Cemokot─panggil saja mereka Cemi dan Cemo. Entah bagaimana jalan pikiran orangtua mereka dalam ikhwal pemberian sebuah nama, tapi itulah kenyataannya.
Konon, mereka kembar selisih satu jam. Secara fisik, mereka nyaris sama. Identik. Bahkan, keduanya sama-sama bisu─walau tetap bisa mendengar. Lebihnya, mereka dapat berkomunikasi lewat telepati satu sama lain, saling dapat membaca suasana hati masing-masing.
Sebetulnya, Cemi dan Cemo memiliki perbedaan fisik, yakni tahi lalat. Cemi mempunyai tahi lalat di pelipis kiri, dan Cemo di sebelah kanan. Masalahnya adalah, ketika mereka sudah dewasa, keduanya memelihara rambut yang cukup panjang─sebahu─dan menutupi pelipis. Artinya, mereka memang persis. Namun jika ditelisik lebih dalam, perbedaan yang mendasar keduanya adalah jidat. Jidat Cemi tertulis semu "aku selalu benar", dan kening Cemo tergores kias tulisan “Cemi kerap keliru”.
***
            Beberapa bulan ini tak turun hujan. Bahkan, sedikit tetesan kegundahan langit pun tak ada. Namun, bukan berarti langit selalu gembira. Boleh jadi langit lebih bisa memendam duka daripada manusia-manusia yang suka mengumbar status-status random di akun media sosial mereka. Isinya saling mencemooh, mencaci-maki, mengumpat, dan akhirnya perang dingin. Mending jikalau memang sama-sama punya nyali, adu jotos saja. Toh, pasti akan ada yang mengadili. Atau kalau mau lebih berhemat tenaga, tirulah Cemi dan Cemo. Meski mereka hampir beradu pendapat sepanjang hari, tapi mereka tetap saling menyayangi.
            “Mo, menurutmu Tuhan itu benar-benar ada?” tanya Cemi yang tiba-tiba duduk di samping Cemo, di sofa ruang tamu rumah mereka.
Cemo yang sedang mengorek-ngorek kuping dengan potongan lidi pun menjawab sambil merem, “Kau ini bodoh atau gimana? Lalu kita bisa duduk seperti ini, memang asalnya dari mana?”
            “Ya, dari rahim ibu,” jawab Cemi enteng
            “Nah, ibu dari mana?”
            “Ya, dari rahim nenek.”
            Cemo menghela napas. Membuka mata, menghentikan jemarinya yang sedang memelintir lidi. Tak serta merta lalu ia berang. Selanjutnya, pria berhidung mancung itu pun mengernyih.  
            “Oke, Adam dari mana?” Cemo memulai pertanyaannya kembali. Kali ini ia menoleh ke arah Cemi.
            “Nah, kau ini aneh. Tuhan itu ada atau enggak saja, aku ragu. Bagaimana mungkin kau bisa berpikir bahwa aku yakin dengan Adam?”
            Suasana lengang sejenak. Cemo menarik ujung batang lidi yang sedari tadi terperosok dalam kubangan serumen oranye telinganya. Digoreskannya serumen yang tersangkut pada pucuk lidi itu di lantai. Dengan kepala yang masih menghadap arah Cemi, Cemo naga-naganya memulai keseriusannya.
            “Menurutku, Tuhan itu memang ada. Keberadaan segala sesuatu di dunia inilah buktinya. Adanya siang-malam, adanya lantai yang kita pijak, adanya bekicot yang berjalan lambat, dan adanya desau angin walau lamat-lamat. Ibarat kamu membeli sebuah robot remote kontrol, robot tersebut tak akan ‘bernyawa’ kalau tak diberi baterai atau ‘sumber kehidupannya’.”
            “Lalu Tuhan itu seperti apa?”
            “Dia tak seperti apa-apa.”
            “Nah! Gimana aku bisa percaya pada hal yang bahkan definisinya enggak jelas, Mo?”
            “Tapi aku yakin Tuhan ada beserta sifat-sifatnya.”
            “Kamu pernah tahu tentang ungkapan Epicurus’ Problems of Evil? Kira-kira begini bunyinya: kalau Tuhan sanggup tetapi tidak mau menghilangkan penderitaan manusia, berarti dia jahat. Kalau Tuhan mau tapi tak sanggup menghilangkan penderitaan manusia, berarti dia tidak Maha Kuasa. Kalau Tuhan mau dan sanggup menghilangkan penderitaan manusia, maka penderitaan tak seharusnya ada. Serta, kalau Tuhan tidak mau dan tidak sanggup menghilangkan penderitaan manusia, kenapa disebut Tuhan?”
            Cemo menggeleng-gelengkan kepalanya. Digaruk-garuknya rambut yang sebenarnya tidaklah gatal. Ini bukan masalah Cemo merasa tak bisa menjawab, tapi lebih tertitik pada heran yang melanda secara luar biasa.
            “Sebelum kujawab, aku kasih sebuah pertanyaan mendasar buatmu. Kau pernah dengar lagu The Spirrit Carries On, kan? Where did we come from? We are we here? Where do we go when die? Jawablah!”
            Kali ini Cemi menggeser manik matanya ke arah atas. Sesekali dengan perlahan ia geserkan kelereng matanya ke kiri dan ke kanan. Lalu kembali memandang Cemo.
            “Kenapa enggak kau jawab saja pertanyaanku dulu, lalu kujawab pertanyaanmu, Mo?”
            “Ah... baiklah. Gini, jika ada abang-abang pangkas rambut, kenapa masih ada orang yang rambutnya berantakan? Jelas, kalau di dunia ini memang ada orang yang enggak mau datang ke tukang cukur. Bukankah sama dengan penderitaan? Penderitaan ada karena ada manusia yang enggak datang kepadaNya.”
            “Lhoh? Merapikan rambut kan enggak selalu ke tukang pangkas rambut?” Kali ini Cemo menyenggihkan giginya.
            “Ehm, aku hanya berpikir sederhana saja, sih, Mi. Jika kamu enggak percaya Tuhan, artinya kamu perlu bertemu Tuhan sebagai bukti. Lalu pertanyaannya, dengan cara apa kamu ingin mati? Atau begini saja, ini hanya jika kamu enggak percaya kehidupan setelah mati, esensinya, kamu perlu bukti. Nah, kembali ke pertanyaan pertama, dengan cara apa kamu ingin mati?”
          “Hah!? Distrak macam apa lagi ini?” tukas Cemi.
          Situasi hening beberapa saat. Mereka mencoba membaca hati satu sama lain. Cemi tahu betul ini hanyalah akal-akalan Cemo hanya karena dia nggak bisa menjawab pertanyaannya. Maka, dengan licik Cemo berusaha mengalihkannya dengan pertanyaan balik. Begitu pula dengan Cemo, ia pun tahu benar bahwa kali ini otak Cemi sedang kelimpungan menghadapi serangan baliknya.  
            Lalu dengan segala pertimbangan, Cemo menyuarakan hatinya, “Mungkin memang pada hakekatnya kredo kita berbeda, jika kamu enggak percaya Tuhan, dan jika kamu mencemooh dia, itu adalah hak asasimu untuk berpendapat atau meyakini. Pun aku tak akan marah, karena dia yang kamu caci-maki tentu berbeda dengan Dia yang aku percayai. Itulah kenapa aku lebih percaya pada ajaran agamaku, dibanding mementingkan ego logikaku. Aku hanya merasa rumah ini lebih besar dari kita, dan tentu rumah kita tak ada apa-apanya dengan semesta yang Dia ciptakan. Maka dari itu aku juga percaya bahwa logikaku boleh jadi memang tak benar-benar mampu menafsirkan semuanya. Biarlah semua menjadi rahasia yang mungkin akan terjawab nanti dan itu tak perlu kupikirkan dalam-dalam.”
            Cemi terdiam beberapa saat. Ia tahu benar suasana hati yang sedang dirasakan saudara kembarnya itu. Lantas, Cemi menyunggingkan senyum kepada Cemo, dan sebaliknya. Mereka yang saling mengerti, pun bersama-sama berkata lewat hati mereka, “Mungkin memang benar, perbedaan keyakinan bukanlah hal yang perlu didebatkan, perbedaan menjadikan kehidupan lebih berwarna. Yang diperlukan hanyalah saling menghargai.”     
             Akhirnya, mereka tertawa bersama-sama. Sejak saat itu, Cemo lebih memercayai bahwa Tuhan memanglah Maha Tahu dan Maha Kuasa. Ia benar-benar bersyukur mereka dilahirkan dengan anugerah bisu dan saling mengerti situasi hati masing-masing. Tak ada yang perlu disembunyikan ketika keduanya sedang berbeda. Demikian halnya dengan Cemi, ketidakpercayannya pada Tuhan pun masih berlaku. Ia tetap percaya bahwa otaknya mampu menuntaskan semua tanda tanya yang sedari dulu tetap menancap di keningnya.