Oleh:
Wawan Esideika
Di lorong ini, ia berdiri mematung. Manik
matanya melirik kiri dan ke kanan, kadang ke atas pun sesekali ke bawah. Mengamati
cahaya seekor kunang-kunang, mengikuti ke mana hewan itu terbang. Bibirnya tersenyum,
namun matanya menyungging sendu. Sendu yang ia rasakan belakangan ini, yang
teramat dalam, seolah tiada lagi yang lebih dalam.
Wajahnya yang pias, seharusnya
menarik perhatian orang-orang yang berlalu-lalang. Namun nyatanya, orang-orang
tak ada yang barang sedikit menegur atau sekadar menanyakan gerangan
apakah yang membuatnya berdiri di lorong ini, malam hari, seorang diri. Padahal,
sama sekali pemuda itu tak memagari dirinya dengan tabir rahasia. Pagar yang
membatasi dirinya untuk bercerita.
Mujur tiba menimpa. Seorang gadis
berkulit putih, berpakaian serba putih, lengkap dengan kap perawat yang
terpagut di kepala, menghampiri pemuda yang sedang asyik dengan
kunang-kunangnya.
“Permisi,” sapa gadis itu dengan
tersenyum.
Pemuda berambut ikal itu sedikit
tersentak, merasa agak terkesiap. Pun buyarlah lamunan kunang-kunang dan segala
tentangnya. Lalu, ia menengok cepat ke arah sumber suara.
“Ya,” jawab sang lelaki pengamat kunang-kunang
yang sebetulnya sempat menggerutu di dalam kalbu. Namun, sebab diperolehnya
seorang perawat cantik dengan rambut panjang hitam tergerai hingga menutupi
lekuk payudaranya, pun lengkap dengan senyuman manis ala gadis-gadis, maka, tak
jadi sebal, pemuda itu lantas membalas senyuman indah yang menancap di kedua
matanya itu dengan senyuman pula.
“Kenapa Anda merenung di sini?
Bukankah seharusnya Anda berada di dalam ruangan?” Gadis itu bertanya dengan
tatapan yang tajam.
“Ah, iya. Saya cuman lagi tertarik
dengan kunang-kunang itu,” jawab sang pemuda sambil menunjuk dengan jari
telunjuk ke arah kunang-kunang yang hinggap di sebuah batu.
“Ehm. Ada apa dengan kunang-kunang,
bukannya dia cuma serangga biasa seperti serangga yang lainnya, kan?”
Kali ini pemuda beraut pias itu
menatap gadis berpakaian perawat yang berada di depannya. Diamatinya wajah
gadis perawat itu lebih detail; alis yang sedikit tebal, hidung yang mungil,
dan bibir yang tipis.
“Bagiku,
kunang-kunang seperti kenangan dan harapan,” jawab sang pemuda mantap. Suaranya
lantang.
Ucapan
yang sontak membuat penasaran, tentu bagi si gadis perawat yang sedari tadi
belum memperkenalkan diri. Sejenak, kelengangan melanda mereka berdua. Meski
masih ada beberapa orang yang berjalan lalu-lalang, tapi tetap saja tak ada
yang menghiraukan.
“Baiklah,
semoga Anda bersedia saya baca,” tegas gadis perawat. Mendadak, mata gadis itu
berubah menjadi lebih tajam, teramat tajam, seolah tiada yang lebih tajam.
Kedua mata mereka bertemu, menelusup sendu….
***
Atas nama malam pertama di awal
tahun ini, keduanya bukanlah pluviophile[1]
yang mencintai petrichor[2].
Mereka berdua hanya sedang berada di pucuk kedilemaan. Meski dihiasi guyuran
hujan deras, tetaplah keduanya tak beranjak dari tempat mereka berdiri sekarang.
“Sudah kubilang, lebih baik hubungan
kita diakhiri saja, Dir!”
Dirga menggeleng-gelengkan kepalanya
seakan tiada percaya bahwa peristiwa ini benar-benar terjadi. Kejadian yang ia
pernah ramalkan betul-betul menjadi kenyataan.
“Lalu, apa alasannya?”
Lucy menunduk. Telapaknya mengepal,
lengannya bergetar. Tetesan air mata mulai keluar dari mata Lucy. Yang kemudian,
tetesan-tetesan itu akan nampak hilang karena menyatu dengan air yang sedari
tadi menghunjam dari atas langit. Hatinya berdesir menahan getir.
“Nggak ada alasannya, Dir—”
“Pasti ada!” sergah Dirga dengan
teriakan yang cukup keras.
Kali ini Lucy benar-benar tak sanggup jikalau
rahasia itu berlama-lama ia simpan. Sampai kapan? Lalu, dengan segala sesak
yang menyelimuti dada, pun dengan bibir yang mulai membiru, dikatakanlah yang
sebenar-benarnya.
“Aku dijodohkan,” jawab Lucy
singkat.
“Cih!?” Dirga membuang muka, seakan
ini adalah alasan yang antiklimaks baginya. Dalih yang kurang masuk akal,
mengada-ada.
“Teori
macam apa lagi ini, hah?” Dirga mengangguk-anggukan kepalanya seraya
menyeringai. Pun, ia melanjutkan, “Mustahil bisa kamu dijodohkan. Bukankah kita
dipertemukan karena kanker otak yang sama. Bahkan kita tak pernah tahu, berapa
lama lagi kita hidup di dunia ini kan? Tak usah mengarang cerita!”
Perlahan, Lucy mendongakkan kepala. Mengumpulkan
segala keberanian menatap mata orang yang berdiri di depannya walau ia sedang
membuang muka. Orang yang mungkin akan selalu Lucy cintai selama hidupnya.
“Ini ujian bagi kita, kan? Juga
bukti bahwa ayah-ibuku masih punya harapan yang besar kepadaku.” Lucy
menghentikan perkataannya sejenak, menghela napas, lalu melanjutkan meski
ketidakrelaan menggenangi pikirannya, “Sadarlah Dir, masih banyak
perempuan-perempuan di luar sana yang sudah pasti jauh lebih baik dari aku.”
“Tapi… tapi apa kamu sudah lupa
dengan janji-janji yang telah kita bicarakan dulu?” sahut Dirga sambil
mengembalikan pandangannya ke arah Lucy. Dirga menelan ludah. Suaranya melirih.
“Aku
nggak akan pernah lupa percakapan kita dulu, kok, Dir. Kamu tahu kan arti
namaku? Luciferin. Itu zat yang membuat kunang-kunang bercahaya. Dan jika aku
mati nanti, aku akan jadi kunang-kunang untukmu. Dan kamu… kamu selalu menjadi
Dirgantara untukku.”
Dirga
tercenung mendengar pernyataan Lucy. Sungguh berlawanan jika katakanlah guyuran
air selalu membebaskan orang yang terlalu dalam melamun, kali ini Dirga malah
mampu termangu sepenggal waktu. Hati yang dirundung
cinta memang tak berlogika. Walau hujan deras menerpa, mereka tetap menjejakkan
kaki di sana. Meski tubuh sama-sama menggigil, gigi-gigi saling bergeletuk,
bibir bergetar, dan hati yang serasa runtuh.
"Ma-maafkan—"
"Ma-maafkan—"
Belum sempat Lucy menghabiskan kalimatnya, Dirga mendekap
Lucy erat. Erat sekali. Dirasakannya dalam-dalam perasaan Lucy saat ini, walau hanya lewat terkaan-terkaan saja. Mungkin keteraturan napas dan penolakan kecil bisa menjadi jawabannya. Sebab keduanya tiada terjadi, itulah yang menimbulkan getaran-getaran dari dalam dada. Perlahan tapi pasti, denyutan-denyutan aneh yang semakin lama semakin tak kepalang tanggung, seakan menggedor-gedor ingin keluar menemani mereka berdua, menyelimuti keduanya, mendedah emosi, meninggalkan
nurani, hingga melahirkan birahi. Lantas, setelah pelukan itu lepas, kepala mereka pun
berhadapan, saling memandangi satu sama lain. Mata Dirga menajam seolah menghunus tanpa ampun pupil mata kekasihnya yang membesar. Dan perasaan Lucy mulai tidak keruan. Napasnya secara tak teratur berhamburan, pun jantung-jantung terasa berdetak jauh lebih cepat dari biasanya, lebih kencang dari biasanya.
Tanpa kesepakatan, akhirnya kedua bibir insan itu pun berpagutan, saling melumat penyesalan, merajut kenangan. Keduanya memejam seiring jiwa yang bersatu. Jiwa yang beputar, berpusing seperti balerina yang sedang menunjukkan kelihaiannya. Hingga sebegitu kencangnya berputar, akhirnya mereka terbang jauh, teramat jauh,
seolah tiada lagi yang lebih jauh.
***
“Lalu, hari ini tepat sebulan Lucy meninggal kan, Dir? Di rumah sakit lain, setelah rumah sakit ini tak
sanggup menanganinya?” sang perawat cantik menanyakan sesuatu yang sebetulnya
sudah ia ketahui kepada sang pemuda yang tak lain bernama Dirga.
Dirga terbelalak. Kali ini ia
benar-benar tersentak. Tak habis pikir, bagaimana gadis itu bisa tahu semuanya.
“Se-sebenarnya, siapa Anda?” tanya
Dirga dengan terbata-bata.
Gadis perawat itu hanya tersenyum,
seakan tak pernah terjadi apa-apa. Alangkah paradoksnya dengan kepala Dirga
yang seolah terbelah menjadi dua oleh arit yang berbentuk tanda tanya.
“Baiklah. Saya tahu Anda masih punya
harapan besar bertemu Lucy, akan kusampaikan padanya. Atau, sebetulnya Anda pun
bisa menemuinya sendiri, di rumah sakit tempat ia meninggal. Jangan mendekam di
rumah sakit ini terus, dong. Ah, apalagi di ruang mayat. Apa enaknya?” pungkas
gadis itu sambil mengerlingkan mata kemudian membalikkan badannya.
Gadis perawat itu lantas beranjak
dari tempat Dirga. Berjalan perlahan, sambil terkekeh-kekeh, menyusuri lorong yang kini telah sepi. Melayang. Tak
menapak lantai. Lalu melesap di antara kegelapan malam. Gelap yang teramat
gelap, seolah tiada lagi yang lebih gelap.
Satu
hal, sebetulnya gadis itu pun tahu. Bahwa kunang-kunang yang terbang, adalah selalu
kunang-kunang jantan. Sebutlah nama panjangnya: Luciferin Hardiyanto. Dan Dirga
melesak terbang untuk segera menemuinya.