Di
sebuah daerah belahan bumi tertentu pada sebuah jalur waktu, tersebutlah dua
orang pria yang hidupnya hampir selalu berkontradiksi: Cemipok dan Cemokot─panggil
saja mereka Cemi dan Cemo. Entah bagaimana jalan pikiran orangtua mereka dalam ikhwal
pemberian sebuah nama, tapi itulah kenyataannya.
Konon,
mereka kembar selisih satu jam. Secara fisik, mereka nyaris sama. Identik.
Bahkan, keduanya sama-sama bisu─walau tetap bisa mendengar. Lebihnya, mereka
dapat berkomunikasi lewat telepati satu sama lain, saling dapat membaca suasana hati
masing-masing.
Sebetulnya,
Cemi dan Cemo memiliki perbedaan fisik, yakni tahi lalat. Cemi mempunyai tahi
lalat di pelipis kiri, dan Cemo di sebelah kanan. Masalahnya adalah, ketika
mereka sudah dewasa, keduanya memelihara rambut yang cukup panjang─sebahu─dan menutupi pelipis. Artinya, mereka memang persis. Namun jika ditelisik
lebih dalam, perbedaan yang mendasar keduanya adalah jidat. Jidat Cemi tertulis semu "aku selalu benar", dan kening Cemo tergores kias tulisan “Cemi kerap keliru”.
***
Beberapa bulan ini tak turun hujan.
Bahkan, sedikit tetesan kegundahan langit pun tak ada. Namun, bukan berarti langit
selalu gembira. Boleh jadi langit lebih bisa memendam duka daripada
manusia-manusia yang suka mengumbar status-status random di akun media sosial mereka. Isinya saling mencemooh,
mencaci-maki, mengumpat, dan akhirnya perang dingin. Mending jikalau memang
sama-sama punya nyali, adu jotos saja. Toh, pasti akan ada yang mengadili. Atau
kalau mau lebih berhemat tenaga, tirulah Cemi dan Cemo. Meski mereka hampir beradu
pendapat sepanjang hari, tapi mereka tetap saling menyayangi.
“Mo, menurutmu Tuhan itu benar-benar
ada?” tanya Cemi yang tiba-tiba duduk di samping Cemo, di sofa ruang tamu rumah
mereka.
Cemo
yang sedang mengorek-ngorek kuping dengan potongan lidi pun menjawab sambil
merem, “Kau ini bodoh atau gimana? Lalu kita bisa duduk seperti ini, memang
asalnya dari mana?”
“Ya, dari rahim ibu,” jawab Cemi
enteng
“Nah, ibu dari mana?”
“Ya, dari rahim nenek.”
Cemo menghela napas. Membuka mata,
menghentikan jemarinya yang sedang memelintir lidi. Tak serta merta lalu ia
berang. Selanjutnya, pria berhidung mancung itu pun mengernyih.
“Oke, Adam dari mana?” Cemo memulai
pertanyaannya kembali. Kali ini ia menoleh ke arah Cemi.
“Nah, kau ini aneh. Tuhan itu ada
atau enggak saja, aku ragu. Bagaimana mungkin kau bisa berpikir bahwa aku yakin
dengan Adam?”
Suasana lengang sejenak. Cemo
menarik ujung batang lidi yang sedari tadi terperosok dalam kubangan serumen
oranye telinganya. Digoreskannya serumen yang tersangkut pada pucuk lidi itu di
lantai. Dengan kepala yang masih menghadap arah Cemi, Cemo naga-naganya memulai
keseriusannya.
“Menurutku, Tuhan itu memang ada.
Keberadaan segala sesuatu di dunia inilah buktinya. Adanya siang-malam, adanya
lantai yang kita pijak, adanya bekicot yang berjalan lambat, dan adanya desau
angin walau lamat-lamat. Ibarat kamu membeli sebuah robot remote kontrol, robot tersebut tak akan ‘bernyawa’ kalau tak diberi
baterai atau ‘sumber kehidupannya’.”
“Lalu Tuhan itu seperti apa?”
“Dia tak seperti apa-apa.”
“Nah! Gimana aku bisa percaya pada
hal yang bahkan definisinya enggak jelas, Mo?”
“Tapi aku yakin Tuhan ada beserta
sifat-sifatnya.”
“Kamu pernah tahu tentang ungkapan Epicurus’
Problems of Evil? Kira-kira begini bunyinya: kalau Tuhan sanggup tetapi tidak
mau menghilangkan penderitaan manusia, berarti dia jahat. Kalau Tuhan mau tapi
tak sanggup menghilangkan penderitaan manusia, berarti dia tidak Maha Kuasa. Kalau
Tuhan mau dan sanggup menghilangkan penderitaan manusia, maka penderitaan tak
seharusnya ada. Serta, kalau Tuhan tidak mau dan tidak sanggup menghilangkan
penderitaan manusia, kenapa disebut Tuhan?”
Cemo menggeleng-gelengkan kepalanya.
Digaruk-garuknya rambut yang sebenarnya tidaklah gatal. Ini bukan masalah Cemo
merasa tak bisa menjawab, tapi lebih tertitik pada heran yang melanda secara luar
biasa.
“Sebelum kujawab, aku kasih sebuah
pertanyaan mendasar buatmu. Kau pernah dengar lagu The Spirrit Carries On, kan? Where
did we come from? We are we here? Where do we go when die? Jawablah!”
Kali ini Cemi menggeser manik matanya
ke arah atas. Sesekali dengan perlahan ia geserkan kelereng matanya ke kiri dan
ke kanan. Lalu kembali memandang Cemo.
“Kenapa enggak kau jawab saja
pertanyaanku dulu, lalu kujawab pertanyaanmu, Mo?”
“Ah... baiklah. Gini, jika ada abang-abang pangkas
rambut, kenapa masih ada orang yang rambutnya berantakan? Jelas, kalau di
dunia ini memang ada orang yang enggak mau datang ke tukang cukur. Bukankah sama
dengan penderitaan? Penderitaan ada karena ada manusia yang enggak datang kepadaNya.”
“Lhoh? Merapikan rambut kan enggak
selalu ke tukang pangkas rambut?” Kali ini Cemo menyenggihkan giginya.
“Ehm, aku hanya berpikir sederhana
saja, sih, Mi. Jika kamu enggak percaya Tuhan, artinya kamu perlu bertemu Tuhan
sebagai bukti. Lalu pertanyaannya, dengan cara apa kamu ingin mati? Atau begini
saja, ini hanya jika kamu enggak percaya kehidupan setelah mati, esensinya, kamu
perlu bukti. Nah, kembali ke pertanyaan pertama, dengan cara apa kamu ingin
mati?”
“Hah!? Distrak macam apa lagi ini?” tukas Cemi.
Situasi hening beberapa saat. Mereka
mencoba membaca hati satu sama lain. Cemi tahu betul ini hanyalah akal-akalan
Cemo hanya karena dia nggak bisa menjawab pertanyaannya. Maka, dengan licik
Cemo berusaha mengalihkannya dengan pertanyaan balik. Begitu pula dengan Cemo,
ia pun tahu benar bahwa kali ini otak Cemi sedang kelimpungan menghadapi
serangan baliknya.
Lalu dengan segala pertimbangan,
Cemo menyuarakan hatinya, “Mungkin memang pada hakekatnya kredo kita berbeda,
jika kamu enggak percaya Tuhan, dan jika kamu mencemooh dia, itu adalah hak
asasimu untuk berpendapat atau meyakini. Pun aku tak akan marah, karena dia
yang kamu caci-maki tentu berbeda dengan Dia yang aku percayai. Itulah kenapa
aku lebih percaya pada ajaran agamaku, dibanding mementingkan ego logikaku. Aku
hanya merasa rumah ini lebih besar dari kita, dan tentu rumah kita tak ada
apa-apanya dengan semesta yang Dia ciptakan. Maka dari itu aku juga percaya
bahwa logikaku boleh jadi memang tak benar-benar mampu menafsirkan semuanya. Biarlah
semua menjadi rahasia yang mungkin akan terjawab nanti dan itu tak perlu
kupikirkan dalam-dalam.”
Cemi terdiam beberapa saat. Ia tahu benar suasana hati yang sedang dirasakan saudara kembarnya itu. Lantas, Cemi
menyunggingkan senyum kepada Cemo, dan sebaliknya. Mereka yang saling mengerti, pun
bersama-sama berkata lewat hati mereka, “Mungkin memang benar, perbedaan
keyakinan bukanlah hal yang perlu didebatkan, perbedaan menjadikan kehidupan
lebih berwarna. Yang diperlukan hanyalah saling menghargai.”
Akhirnya, mereka tertawa bersama-sama. Sejak
saat itu, Cemo lebih memercayai bahwa Tuhan memanglah Maha Tahu dan Maha Kuasa.
Ia benar-benar bersyukur mereka dilahirkan dengan anugerah bisu dan saling
mengerti situasi hati masing-masing. Tak ada yang perlu disembunyikan ketika keduanya
sedang berbeda. Demikian halnya dengan Cemi, ketidakpercayannya pada Tuhan pun
masih berlaku. Ia tetap percaya bahwa otaknya mampu menuntaskan semua tanda
tanya yang sedari dulu tetap menancap di keningnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar