Laman

Sabtu, 06 Juni 2015

Cemi dan Cemo


Di sebuah daerah belahan bumi tertentu pada sebuah jalur waktu, tersebutlah dua orang pria yang hidupnya hampir selalu berkontradiksi: Cemipok dan Cemokot─panggil saja mereka Cemi dan Cemo. Entah bagaimana jalan pikiran orangtua mereka dalam ikhwal pemberian sebuah nama, tapi itulah kenyataannya.
Konon, mereka kembar selisih satu jam. Secara fisik, mereka nyaris sama. Identik. Bahkan, keduanya sama-sama bisu─walau tetap bisa mendengar. Lebihnya, mereka dapat berkomunikasi lewat telepati satu sama lain, saling dapat membaca suasana hati masing-masing.
Sebetulnya, Cemi dan Cemo memiliki perbedaan fisik, yakni tahi lalat. Cemi mempunyai tahi lalat di pelipis kiri, dan Cemo di sebelah kanan. Masalahnya adalah, ketika mereka sudah dewasa, keduanya memelihara rambut yang cukup panjang─sebahu─dan menutupi pelipis. Artinya, mereka memang persis. Namun jika ditelisik lebih dalam, perbedaan yang mendasar keduanya adalah jidat. Jidat Cemi tertulis semu "aku selalu benar", dan kening Cemo tergores kias tulisan “Cemi kerap keliru”.
***
            Beberapa bulan ini tak turun hujan. Bahkan, sedikit tetesan kegundahan langit pun tak ada. Namun, bukan berarti langit selalu gembira. Boleh jadi langit lebih bisa memendam duka daripada manusia-manusia yang suka mengumbar status-status random di akun media sosial mereka. Isinya saling mencemooh, mencaci-maki, mengumpat, dan akhirnya perang dingin. Mending jikalau memang sama-sama punya nyali, adu jotos saja. Toh, pasti akan ada yang mengadili. Atau kalau mau lebih berhemat tenaga, tirulah Cemi dan Cemo. Meski mereka hampir beradu pendapat sepanjang hari, tapi mereka tetap saling menyayangi.
            “Mo, menurutmu Tuhan itu benar-benar ada?” tanya Cemi yang tiba-tiba duduk di samping Cemo, di sofa ruang tamu rumah mereka.
Cemo yang sedang mengorek-ngorek kuping dengan potongan lidi pun menjawab sambil merem, “Kau ini bodoh atau gimana? Lalu kita bisa duduk seperti ini, memang asalnya dari mana?”
            “Ya, dari rahim ibu,” jawab Cemi enteng
            “Nah, ibu dari mana?”
            “Ya, dari rahim nenek.”
            Cemo menghela napas. Membuka mata, menghentikan jemarinya yang sedang memelintir lidi. Tak serta merta lalu ia berang. Selanjutnya, pria berhidung mancung itu pun mengernyih.  
            “Oke, Adam dari mana?” Cemo memulai pertanyaannya kembali. Kali ini ia menoleh ke arah Cemi.
            “Nah, kau ini aneh. Tuhan itu ada atau enggak saja, aku ragu. Bagaimana mungkin kau bisa berpikir bahwa aku yakin dengan Adam?”
            Suasana lengang sejenak. Cemo menarik ujung batang lidi yang sedari tadi terperosok dalam kubangan serumen oranye telinganya. Digoreskannya serumen yang tersangkut pada pucuk lidi itu di lantai. Dengan kepala yang masih menghadap arah Cemi, Cemo naga-naganya memulai keseriusannya.
            “Menurutku, Tuhan itu memang ada. Keberadaan segala sesuatu di dunia inilah buktinya. Adanya siang-malam, adanya lantai yang kita pijak, adanya bekicot yang berjalan lambat, dan adanya desau angin walau lamat-lamat. Ibarat kamu membeli sebuah robot remote kontrol, robot tersebut tak akan ‘bernyawa’ kalau tak diberi baterai atau ‘sumber kehidupannya’.”
            “Lalu Tuhan itu seperti apa?”
            “Dia tak seperti apa-apa.”
            “Nah! Gimana aku bisa percaya pada hal yang bahkan definisinya enggak jelas, Mo?”
            “Tapi aku yakin Tuhan ada beserta sifat-sifatnya.”
            “Kamu pernah tahu tentang ungkapan Epicurus’ Problems of Evil? Kira-kira begini bunyinya: kalau Tuhan sanggup tetapi tidak mau menghilangkan penderitaan manusia, berarti dia jahat. Kalau Tuhan mau tapi tak sanggup menghilangkan penderitaan manusia, berarti dia tidak Maha Kuasa. Kalau Tuhan mau dan sanggup menghilangkan penderitaan manusia, maka penderitaan tak seharusnya ada. Serta, kalau Tuhan tidak mau dan tidak sanggup menghilangkan penderitaan manusia, kenapa disebut Tuhan?”
            Cemo menggeleng-gelengkan kepalanya. Digaruk-garuknya rambut yang sebenarnya tidaklah gatal. Ini bukan masalah Cemo merasa tak bisa menjawab, tapi lebih tertitik pada heran yang melanda secara luar biasa.
            “Sebelum kujawab, aku kasih sebuah pertanyaan mendasar buatmu. Kau pernah dengar lagu The Spirrit Carries On, kan? Where did we come from? We are we here? Where do we go when die? Jawablah!”
            Kali ini Cemi menggeser manik matanya ke arah atas. Sesekali dengan perlahan ia geserkan kelereng matanya ke kiri dan ke kanan. Lalu kembali memandang Cemo.
            “Kenapa enggak kau jawab saja pertanyaanku dulu, lalu kujawab pertanyaanmu, Mo?”
            “Ah... baiklah. Gini, jika ada abang-abang pangkas rambut, kenapa masih ada orang yang rambutnya berantakan? Jelas, kalau di dunia ini memang ada orang yang enggak mau datang ke tukang cukur. Bukankah sama dengan penderitaan? Penderitaan ada karena ada manusia yang enggak datang kepadaNya.”
            “Lhoh? Merapikan rambut kan enggak selalu ke tukang pangkas rambut?” Kali ini Cemo menyenggihkan giginya.
            “Ehm, aku hanya berpikir sederhana saja, sih, Mi. Jika kamu enggak percaya Tuhan, artinya kamu perlu bertemu Tuhan sebagai bukti. Lalu pertanyaannya, dengan cara apa kamu ingin mati? Atau begini saja, ini hanya jika kamu enggak percaya kehidupan setelah mati, esensinya, kamu perlu bukti. Nah, kembali ke pertanyaan pertama, dengan cara apa kamu ingin mati?”
          “Hah!? Distrak macam apa lagi ini?” tukas Cemi.
          Situasi hening beberapa saat. Mereka mencoba membaca hati satu sama lain. Cemi tahu betul ini hanyalah akal-akalan Cemo hanya karena dia nggak bisa menjawab pertanyaannya. Maka, dengan licik Cemo berusaha mengalihkannya dengan pertanyaan balik. Begitu pula dengan Cemo, ia pun tahu benar bahwa kali ini otak Cemi sedang kelimpungan menghadapi serangan baliknya.  
            Lalu dengan segala pertimbangan, Cemo menyuarakan hatinya, “Mungkin memang pada hakekatnya kredo kita berbeda, jika kamu enggak percaya Tuhan, dan jika kamu mencemooh dia, itu adalah hak asasimu untuk berpendapat atau meyakini. Pun aku tak akan marah, karena dia yang kamu caci-maki tentu berbeda dengan Dia yang aku percayai. Itulah kenapa aku lebih percaya pada ajaran agamaku, dibanding mementingkan ego logikaku. Aku hanya merasa rumah ini lebih besar dari kita, dan tentu rumah kita tak ada apa-apanya dengan semesta yang Dia ciptakan. Maka dari itu aku juga percaya bahwa logikaku boleh jadi memang tak benar-benar mampu menafsirkan semuanya. Biarlah semua menjadi rahasia yang mungkin akan terjawab nanti dan itu tak perlu kupikirkan dalam-dalam.”
            Cemi terdiam beberapa saat. Ia tahu benar suasana hati yang sedang dirasakan saudara kembarnya itu. Lantas, Cemi menyunggingkan senyum kepada Cemo, dan sebaliknya. Mereka yang saling mengerti, pun bersama-sama berkata lewat hati mereka, “Mungkin memang benar, perbedaan keyakinan bukanlah hal yang perlu didebatkan, perbedaan menjadikan kehidupan lebih berwarna. Yang diperlukan hanyalah saling menghargai.”     
             Akhirnya, mereka tertawa bersama-sama. Sejak saat itu, Cemo lebih memercayai bahwa Tuhan memanglah Maha Tahu dan Maha Kuasa. Ia benar-benar bersyukur mereka dilahirkan dengan anugerah bisu dan saling mengerti situasi hati masing-masing. Tak ada yang perlu disembunyikan ketika keduanya sedang berbeda. Demikian halnya dengan Cemi, ketidakpercayannya pada Tuhan pun masih berlaku. Ia tetap percaya bahwa otaknya mampu menuntaskan semua tanda tanya yang sedari dulu tetap menancap di keningnya.
              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar