Laman

Rabu, 21 Oktober 2015

Kidung Hujan dalam Kenangan Rembulan



Melalui tatapannya yang dalam, Rosyad pernah bilang bahwa aku adalah bintang di hatinya. Lalu, ia akan sangat senang jika aku mengijinkannya menjadi rembulan. Karena katanya, ia tak akan pernah lagi kesepian jika ditemani bintang seperti diriku.  
Selalu, beberapa detik selepas mata ini bertumbukan dengan purnama di malam yang cerah, saat senyuman Rosyad terpahat dalam guratan rembulan, bayang-bayang Eden muncul sebagai kegelapan.
“Tak usah percaya! Itu hanya bualan Rosyad,” tukas Eden sambil menyeringai, “Kau boleh saja menjadi apa pun yang kau mau, tapi aku tidak terima jika kau disamakan dengan bintang. Ah, pikirkan baik-baik andai kau memang suka menjadi bintang. Lihatlah sekujur langit, buka matamu lebar-lebar, maka kau akan menemukan jutaan bintang di atas sana. Meski cahaya sebuah bintang akan berhenti bersinar suatu saat, bukan berarti bulan akan kesepian. Karena apa? Sebab masih ada jutaan bintang lain yang tersisa. Bahkan, bisa saja bulan lebih menyukai bintang yang lebih benderang jika suatu saat kau meredup.”
***
            Di pinggir sungai samping rumah tempat aku biasa bertegur sapa dengan kenangan, Arlina menggamit lenganku. Aku yang sedang terduduk, sontak menoleh, mendongakkan kepala. Hai, katanya. Perempuan berambut lurus panjang itu pun beringsut duduk di sebelahku. Ia memandangiku dengan binar matanya yang cemerlang. Bibir tipisnya sedikit melebar, meski terkatup rapat terlipat ke arah dalam. Cuping hidungnya tampak menegang. Aku tahu ia sedang menahan tawa.
            “Tebak, apa yang ingin aku ceritakan?”
             Aku mencoba memasang wajah sinis. “Tak usah bertele-tele. Katakan saja.”
            Sontak, jidat Arlina mengernyit, matanya menyipit. Sejujurnya, aku menyukai ekspresinya saat ia sedang seperti itu; raut muka yang sebal, sementara aku suka menjadi sosok yang menyebalkan. Satu lagi, yang kusenangi darinya adalah, beberapa detik lagi, lihat saja, rasa sebalnya akan sirna.
            “Rosyad bilang kalau dia menyukaiku,” lanjutnya sembari tersenyum (Nah!).
            Berkebalikan dengan Arlina yang tampak bahagia, kata-kata itu justru membuat jantungku sejenak berhenti berdetak. Selanjutnya bergejolak. Aku tak tahu kenapa ia lebih menyukai penyair itu daripada diriku. Kendati memang kalah puitis, sebetulnya aku pun tidak kalah romantis.
            “Lalu?”
            “Iya, dia juga bilang kalau aku seperti bintang selepas petang. Indaaah… sekali. Romantis, kan?”
            Cih!? Sungguh aku tak tahu jalan pikiran perempuan. Hanya dengan bualan yang siapa pun bisa mengatakannya, hatinya meleleh. Menjadi bintang selepas petang saja sudah senang, bagaimana jika sedang siang!?
            “Kenapa kau diam saja, Eden?” tanya Arlina memasang wajah cemberut, “Kau tidak memerhatikan ucapanku, ya?”
            Aku terdiam beberapa saat, tetap dengan tatapan yang mengarah ke wajah manisnya. Lantas, kukatakan kepadanya bahwa bulan tak pernah setia. Bintang ada di mana-mana, semuanya berpijar, semuanya juga tampak indah.
            “Terus, kalau kau jadi Rosyad, kau mau jadi apa untukku?”
            “Jangan samakan aku dengan dia!”
            Arlina menghela napas selepas ia mendengar jawaban yang terlontar dari mulutku yang lepas. “Baiklah. Jika kau menjadi Eden, kau mau menjadi apa untuk Arlina?”
            Kututup mata ini, ingin sekali perkataanku beberapa detik lagi memang berasal dari hati. Kuberitahukan kepadanya bahwa aku lebih memilih untuk menjadi hujan daripada bulan. Meski aku tahu betul, tak pelak lagi keduanya memiliki kesamaan analogi. Hujan terkait dengan tumbuhan yang sebetulnya juga berjuta-juta jenisnya. Tumbuhan ada di mana-mana, yang otomatis hujan tak pernah bisa memilih ke mana ia akan turun ke bumi, kepada siapa ia akan menyirami. Tapi aku tetap diam, semoga dia tak tahu maksudku; jika hujan datang, maka bulan akan melindap terdekap gelap.
            “Lalu, jika kau menjadi hujan. Aku menjadi apa?”
            “Middlemist merah,” sambarku cepat.
            Arlina mengerutkan dahinya. “Hah!? Apa itu?”
            “Hmmm, itu  bunga langka, yang sebetulnya sekarang telah punah. Makanya, jika kau adalah Middlemist Merah, tentu kau satu-satunya di dunia ini. Dan akulah yang akan menyiramimu, agar kau tetap indah, supaya kau tidak layu.”
            Arlina mengangguk-anggukan kepala, bibirnya merunjung seperti paruh burung. Aku senang jika dia mulai mengerti, meski dalam hati, diri ini berpikir dia beloon sekali. Takah-takahnya aku setuju dengan pepatah: perempuan kian lugu kian ayu. Maka, memang sekarang ia terlihat menggemaskan dan lucu. Ironisnya, boleh jadi aku saja yang terlalu dini bersenang hati, karena setelah matanya menyeruak jantungku yang beriak, iris matanya tampak bergerak-gerak. “Ah, kau benar Eden. Baiklah, aku akan segera menanyakannya kepada Rosyad. Aku bintang apa baginya,” pungkas Arlina seraya beranjak meninggalkanku. 
***
            Sebentar lagi surya tenggelam berganti malam nan kelam. Di saat itu pulalah, ketakutan selalu mengikis nyali saya. Tatkala kegelapan tersulam dengan sendirinya, mata saya bisa saja membelalak akibat bayang-bayang kenangan yang bersisa nestapa. Saya memang selalu gamang dengan malam yang membuat mamang. Segalanya bermuasal dari kejadian dua puluh tahun silam, pada sebuah tengah malam yang sunyi.
Kebetulan, ketika itu saya yang masih SD tak kunjung jua memejamkan mata. Tiba-tiba, terdengar suara gesekan kaki teruar jelas hingga masuk ke telinga ini. Mulanya, saya hanya diam dan menganggapnya ayah atau ibu saya—tentu karena saya sudah berani tidur tanpa ditemani sehingga saya sudah memiliki kamar sendiri. Tapi, setelah ada barang yang terjatuh, hati saya sontak merapuh. Tak biasanya orang rumah beraktivitas pada jam-jam seperti itu—atau memang saya saja yang tak pernah tahu. Nyatanya, rasa penasaran di benak saya bersikukuh untuk melihat segalanya dengan utuh. Saya bangkit, lalu membungkuk, mendekati pintu dengan menyuruk-nyuruk.
Betapa terkejutnya saya melihat seseorang serupa bayang-bayang mengendap-ngendap di ruang tamu. Saya melihatnya dari sela-sela pintu yang baru saja saya buka. Nahasnya, sinar lampu kamar saya yang menjelanak melewati celah pintu, menumbuk dan membentuk garis cahaya vertikal pada tubuh manusia bayangan itu. Sekilas, matanya tampak melotot menyorot ke arah saya. Sungguh saya menjadi ketakutan karenanya. Pintu saya banting, lantas saya memekik keras-keras.
Saya tidak ingin menceritakannya lebih detail lagi, karena segalanya membuat rongga-rongga ini terpanggang dendam; kebencian yang tak akan tuntas sebelum saya menuntut balas. Yang jelas setelahnya, Ayah dan Ibu dibunuh oleh lelaki pencuri, yang tidak lain adalah paman saya sendiri. Saya tidak tahu ini keberuntungan atau kesialan, nyawa saya terselamatkan oleh beberapa warga yang mendatangi rumah saya. Paman dibekuk, dan sekarang ia berada dalam penjara.
Sejak saat itu saya hidup dengan Nenek di desa. Katanya, rumah orangtua yang berada di kota, dijual untuk membiayai hidup saya selanjutnya. Syahdan, semuanya menjadi permulaan yang mengantarkan saya kepada Eden dan Arlina. Kami berkenalan, kemudian menjadi sahabat yang—semoga saja saling—tak tergantikan.
***
            Rosyad pernah bercerita kepadaku tentang alasan ia tak menyukai malam, tak menyukai kegelapan. Aku memakluminya, sebab kupikir memang tak akan mudah untuk menjalani hidup sepertinya. Maka, saat ia mengatakan bahwa dirinya ingin menjadi rembulan, hatiku bahagia luar biasa. Hanya saja, kini kebahagiaan itu telah sirna lewat secarik kertas yang ditinggalkannya. Karenanya, hingga detik ini aku tahu benar bahwa, ia tak akan pernah menemui aku dan Eden lagi.
            Teruntuk Arlina bintang hati saya. Mungkin, sudah sepantasnya saya tiba-tiba datang dan kemudian pergi. Lewat surat ini, saya hanya ingin meminta maaf jika betapa pernah tebersit rasa cinta di hati ini. Entah saya yang terbutakan cinta, atau justru kamu yang menguatkan saya. Sungguh saya tak pernah berdusta jika saya benar-benar membenci malam. Tapi setelah saya bertemu denganmu, berutas-utas rindu akan teruntai selalu, semuanya seperti titian dukungan yang tiada habisnya. Terima kasih, Arlina.
Jujur, saya tak mengerti tentang hukum di negeri ini. Hukum seperti memandang kasta, bukan dari penegakan sejati. Entah bagaimana caranya, paman saya yang katanya divonis seumur hidup, beberapa hari lagi akan keluar dari penjara. Kabarnya memang, ia ditolong temannya yang konglomerat. Dan betapa saya menjadi lebih bingung, apa motif sebenarnya paman saya kala itu menyulap dirinya menjadi pencuri!? Karena bagi saya mengeluh dan tetap diam bukanlah hal yang masuk akal, maka, mungkin memang inilah jalan bagi saya untuk menuntut balas. Maafkan saya, Arlina.
Dan teruntuk Eden bintang hati saya yang lain. Kamu juga tak kalah hebatnya dengan Arlina. Kamulah teman lelaki terhebat yang pernah  saya punyai. Betapa saya tak akan melupakan saat kamu mengerjai saya dengan menutup mata ini dengan kedua telapak tanganmu, betapa saya teringat pula kamu mengajak saya untuk bermain petak umpet di malam hari. Saya tahu kamu menyukai Arlina. Pula, lewat surat ini saya mohon dengan sangat, jangan pernah menyakiti hatinya. Maafkan saya Eden, sebab saya pernah mencintai Arlina. Dari sahabat kalian: Rosyad.  
            Kupandangi wajah Eden yang ikut pula membaca surat dari Rosyad. Matanya berkaca-kaca, mungkin juga sama dengan kondisi mataku saat ini. Aku mendongakkan kepala ke arah langit; tak ada bulan di sana karena tertutup mendung yang pekat. Eden lalu memelukku... lama sekali.
            Rintik-rintik gerimis mulai menempias wajah setiap kami. Namun kami tetap berdiri saling mendekap, terpaku di tepi sungai samping rumah Eden. Kupikir benar-benar, sepertinya aku memang telah siap untuk menjadi Middlemist Merah. Dan atas nama kidung hujan di malam ini, aku percaya bahwa Eden benar-benar mencintaiku dengan setulus hati. Meski, pada sisi yang lain hati ini juga meyakini, kendatipun bulan tak tampak dari sini, ia akan tetap bercahaya di belahan dunia lain yang tak pernah kumengerti.

5 komentar: